Mengenai Saya

Foto saya
call me July /.\ Kind Autist. Overordinary girl in this extraordinary world :)

Rabu, 29 Juli 2015

Jari yang Teriris Pisau


Hampir saja mobil putih itu menabrak motorku. Pikiranku sedang melayang jauh kedepan sana. Merenungkan sosok pria yang berpostur tinggi, berbadan gemuk, berkulit hitam, bermata belok, yang pernah membuatku jatuh cinta pada jaman SMA. Bagaimana nanti jika aku menemuimu? Sudah lama. Sekitar 3 tahun setelah kita lulus. Aku tidak dapat melihat wajahmu secara langsung.

Hari ini. Aku akan menemuimu di acara reuni itu. Entah kamu datang atau tidak, yang jelas aku mendatangi reuni itu hanya karena ingin menemuimu. Aku ingin melihat perkembanganmu setelah 3 tahun ini. Kurasa perkembanganmu sangat pesat. Kurasa.

Aku sudah ada di parkiran tempat kita reuni. Kulihat kamu sudah datang, menyalami setiap alumnus yang datang. Aku menghampiri sekumpulan itu, ternyata bukan kamu. Apakah kamu tidak datang hari ini? Aku berharap kamu hanya terlambat.

Aku bercengkerama dengan teman-teman kita jaman SMA. Aku suka bertemu mereka, tapi mereka hanyalah alasan kedua, yang utama kamu.

Detik demi detik berjalan. Dan kamu datang juga. Jalan bertiga bersama satu sahabatmu sedari jaman SMA, sisanya kamu dan perempuan di belakangmu. Siapakah dia? Apakah dia juga teman kita SMA? aku tak mengenal wajahnya.


Sahabatku bertanya padamu tentang perempuan itu. Kamu berusaha berkelit untuk tidak menjawab. Akhirnya lidahmu terpeleset untuk berkata bahwa ia kekasihmu. Kau tahu? Mendengarkan pernyataanmu rasanya lebih perih dari jari yang teriris pisau.

Aku,

Dinda....

Senin, 01 Juni 2015

Apa Salahnya?

Di sebuah sudut ruang kecil dalam raga
Ada yang bernama hati untuk menyimpan rasa
Rasa yang selalu saja sulit untuk dibina
Entah
Mungkin terlalu indah
Atau mungkin terlalu kompleks untuk diurai salah satunya
Banyak raga menyudutkan ketika hamba merasa
Getaran hangat sejak bertemu lawannya
Apa salahnya?
Mereka selalu berkata hamba murah
Tapi, hamba tak pernah menyerahkan sebuah rasa
Hanya karena sepeser rupiah
Apa salahnya?
Mereka berkata hamba mudah
Menelan bualan lalu menerima
Mereka hanya tak tahu lalu mencela
Mungkin hamba yang tahu caranya bahagia
Apa salahnya?
Mereka berkata hamba penggembala
Mengubah kusam menjadi sempurna
Diam dahulu jangan berkata
Hikmah apa dari sempurna? 
Tidak ada
Apa salahnya?
Mereka pernah berkata hamba buta
Tak mampu membeda indah dan buruk rupa
Karena mereka tak pernah percaya
Rupa tak akan pernah menjadi asa
Sebab rasa tumbuh oleh cara
Yang berbeda

Hamba,

July 

Sabtu, 23 Mei 2015

Terimakasih....


Dewasa ini, merasakan sakit hati sudah hal yang lumrah. Tetapi, pasti ada salah satu dari rasa sakit hati tersebut menjadi terhebat. Seperti sakit hati yang terakhir aku rasakan. Bersamamu. Aku katakan terhebat, karena aku belum pernah merasakan sebelumnya. Saat sedang cinta-cintanya hingga bodoh melupakan iman yang membesarkanku demi menghabiskan waktu yang belum terjalani denganmu, orang yang aku percaya akan membahagiakanku sampai akhir.

Ternyata kemudian kamu bertemu orang lain yang tentunya lebih baik dari aku, aku tahu itu. Kamu pergi meninggalkan segala pertanyaan yang tidak akan pernah terjawab sampai kapanpun. Aku bukakan pintu jalan keluar lebar-lebar, aku tidak pernah menahanmu. Aku percaya, segala yang terjadi pada hidupku tidak lain dan tidak bukan adalah rencana sang pencipta langit di atas tanpa menggunakan tiang penyangga. Tuhan memang hebat, membuatmu pergi hanya karena Tuhan menyayangiku dan tidak ingin aku berpaling hanya karena kamu yang tidak lebih penting. Iya, aku sebut Tuhan yang membuatmu pergi, bukan siapa-siapa, bukan apa-apa, hanya satu, Tuhan masih menyayangiku.
Semenjak kamu pergi, aku mulai merasakan adanya block memory pada diriku. Aku berusaha melupakan segala tentang kedustaan yang pernah kita jalani, kebahagiaan yang penuh dengan kepalsuan, keindahan yang terasa pahit. Tidak membutuhkan waktu lama, hanya hitungan satu hingga tujuh hari aku melupakanmu. Aku mantapkan hati dan otakku untuk memohon ampun dan mengembalikan semua imanku yang pernah sengaja aku buang sia-sia, sungguh aku sangat bersedih karena ini.

Aku jalani waktu tanpamu, meskipun menyedihkan aku mampu menciptakan bahagia. Bahagia mendapat hidayah iman dari Tuhan, inshaAllah aku tidak ingin lagi mengulanginya. Bahagia menjalankan hidupku dengan bertemu orang-orang baru dalam bacaan, seperti karakter yang dibentuk penulis dalam novel, aku selalu mencintai mereka. Bahagia menemukan true friends yang inshaAllah tidak pernah berkhianat. Dan bahagia lainnya yang begitu banyak untuk disebutkan.

Jalan demi jalan aku coba telusuri, lambat laun terbuka juga. Hikmah apakah yang aku dapatkan semenjak mengenalmu, mencintaimu, dan sakit hati karenamu. Ternyata banyak, sangat banyak. Yang jelas aku lebih khusyuk untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Aku lebih paham jika harus memprioritaskan yang penting terlebih dahulu kemudian yang membahagiakan. Aku belajar itu semua. Aku sudah pandai untuk lebih memilih membantu keluargaku daripada berhura-hura bersama teman-teman, yang menghidupiku ‘kan keluarga, bukan teman, aku mengingat nasihatmu. Aku sudah lebih mementingkan penjelasan dari dosen daripada bercandaan sekitar. Aku sudah bisa fokus untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah daripada bermain. Dan kamu tahu, semua itu membuatku berkembang pesat. Saat bersamamu nilaiku asal-asalan karena jujur saja kamu mampu mengalihkan perhatianku dari cita-citaku menjadi hanya padamu. Dan ketika kamu pergi dan tidak ada lagi yang menyita perhatianku, nilaiku menjadi tidak asal, semuanya mendekati sempurna.
Terimakasih, padamu yang telah memotivasi dalam diam. Padamu yang membuatku tidak ingin terlihat lemah di hadapanmu. Padamu yang ternyata berpengaruh besar jika kamu membenciku. Sekali lagi, terimakasih...

Siapalah aku tanpa adanya kamu dalam hidupku? Hanya seonggok daging yang bergerak dan hanya bisa dewasa pada beberapa aspek, tidak semua aspek. Aku mengaku menyesal telah menomor sekiankan yang penting.
Terimakasih, telah masuk dalam perjalanan hidupku dan sangat berpengaruh dalam diammu....

The Most Lucky Person,


Tante Bundar

Rabu, 08 April 2015

Dengan Ini Aku Menjawab

Hujan lebat akhirnya berakhir, hanya ada gerimis kecil yang masih saja ingin membasahi bumi saat ini. Awan kumulus yang sedari tadi menghiasi langit kini mulai hilang menjadi awan stratus yang menggantikan. Aku sedang berdiri menghadap pada langit yang mendungnya akan hilang, bersandar tangan pada pagar balkon gedung kuliahku. Aku sedang menunggu dia, seorang yang sejak kemarin berjanji untuk menjemputku. Merindukanku, satu-satunya alasan dia ketika aku tanya mengapa ingin sekali menjemputku.

Terhitung lima belas menit sepertinya, durasi aku menunggunya. Kemudian dia datang, dengan air muka bingung seperti tidak pernah sama sekali ke tempat ini. Dia mencariku, dengan gerakan leher ke kanan dan ke kiri. Aku melihatnya lucu, sambil terkikik aku menghampirinya. “Mau cari siapa, mas?” dengan gaya centil aku bertanya padanya. “Mau cari bidadari jatuh dari surga di hadapanku, eeeaaaa.” Jawabnya dengan meniru lagu boyband seraya menyodorkan helm kepadaku.

Kami baru saja keluar kampus lewat gerbang Ambarawa. Dia duduk di depan, mengendalikan setir. Aku duduk di belakang, tanganku berpegangan pada tubuhnya bagian samping. Dengan ditemani gerimis kita menerobos jalanan Galunggung menuju rumahku. “Laper, sayang?” Tanyanya ketika kami terhenti karena lampu merah. “Jelaaaaaas......” jawabku dengan melongokkan kepala agar wajahnya tertatap olehku. “Yaudah, makan dulu yuk. Ayam goreng, mau?” Tanyanya. “Mauuuuuuuuu......” Jawabku dengan sedikit bergembira. “Kamu apa yang ndak mau, sayang” pintanya sambil menjulurkan lidahnya meledekku. “huh...” Aku merajuk, melepaskan peganganku. “Yeeee.. Ngambek” Jawabnya sambil menarik gas kencang.

Gerimis akhirnya reda, tidak ada hujan, tidak ada air yang jatuh pada bumi sama sekali. Dia mengajakku berhenti di rumah makan siap saji dekat Sarinah, kawasan alun-alun kota Malang. Aku turun dari boncengan. Dia memakirkan motornya. Dengan menggandeng tanganku, kami bergegas masuk rumah makan itu. “Aku nanti mau makan ayam goreng sama nasi, bubur ayam, sama burger. Terus terus minumnya soda.” Aku meminta padanya seperti seorang anak minta kepada ayahnya. “Yaudah aku pesen kopi aja, nanti pasti kamu gak habis.” Jawabnya dengan sikap dominan yang dimilikinya, cuek. “Duduk di outdoor aja yaa, basah semua lho, kena AC malah semakin dingin.” Perintahnya yang tidak lama lagi ditimpali dengan “aku beli ke dalem dulu ya, kamu tunggu sini, gak usah kemana-mana, gak usah genit sama orang lewat.” Mengajakku bercanda. “Siap, boss!” jawabku seraya hormat pada komandan pleton.

Kamu gak makan?” tanyaku. Dia hanya menggeleng sambil meneguk kopi miliknya. “Emangnya gak laper?” kataku menjejali dia dengan pertanyaan sambil mengunyah bubur ayam permintaanku. “Tadi aku udah makan di rumah” jawabnya lagi-lagi cuek. “Ini makan burgerku.” Perintahku sambil menyodorkan burger, sepertinya bubur ayam sudah membuat lambungku penuh. “tuh kan, kamu mesti minta banyak akhirnya gak dimakan.” Dia menasehatiku.
         
           Saling bertatapan, tapi tidak saling mengeluarkan suara. Kami berdua sedang sibuk melahap yang ada di atas meja. Ketika burgernya habis, dia juga menghabiskan kopinya yang memang sudah tegukan terakhir. “Kamu gak sayang aku ya?” Tiba-tiba suaranya yang berintonasi rendah mengagetkanku yang sedang memilah sayap ayam yang boleh dan tidak boleh dimakan menurut tahayul orang jawa. “kenapa tanya gitu?” jawabku dengan bertanya kembali dan masih terpaku pada ayam goreng itu.

            “Rasanya aku ndak pernah kamu marahi karena hal yang mantan-mantanku dulu lakuin, kamu ndak penah merasa cemburu waktu kamu lihat aku masih nyimpen foto bareng mantanku. Kamu ndak pernah marah kalo liat aku bbman ato smsan sama cewek lain. Kamu ndak pernah marah kalo smsmu gak aku balas waktu aku latihan, seenggaknya kirim ulang smsmu atau miscall aku gitu, kamu ndak pernah. Kamu ndak pernah marah kalo ada yang genit waktu foto sama aku. Kamu ndak pernah marahin aku waktu aku gak bisa nemenin kamu karena aku latihan, bahkan kamu ndak pernah marah kalo kita cuma ketemu dua minggu sekali atau sebulan sekali padahal kita satu kota. Intinya kamu ndak prnah cemburu sama aku. Kata orang, cemburu itu tanda sayang. Kamu ndak pernah cemburu. Jadi?” Dia menutup pernyataannya dengan pertanyaan.


Senin, 16 Februari 2015

aku, dulu, dan ulang tahun, sekarang.

coba kamu lihat ke sini sebentar
lihat
lihatlah ke sini, ke arahku, sebentar saja
luangkanlah waktumu untuk memandangku
aku hanya ingin memperbaiki kesalahan yang sangat aku sengaja
kebodohan yang membawaku pada penyesalan yang sepertinya tidak pernah berakhir
lihatlah kesini, ini aku, yang pernah menjadi bagian hidupmu
ini aku, makhluk kecil yang pernah sangat bergantung kepadamu
suatu hal yang kamu ajarkan kepadaku, dulu
kini aku bertransformasi menjadi seseorang yang lebih besar dari sebelumnya
seseorang yang sudah tidak lagi melanggar apapun yang dilarang
seseorang yang sudah tidak lagi merengek seperti anak kecil karena tidak dipenuhi permintaannya
sudah tidak lagi menjadi seseorang yang labil, tiap lima menit sekali berganti suasana hati
sudah tidak lagi berbicara dengan nada tinggi setiap bulanku merah
sudah tidak lagi marah setiap barang baruku hilang ataupun dirusak orang lain
sudah tidak lagi berlaku tidak sopan kepada orang lain
semenjak kepergianmu aku belajar banyak hal
belajar mengubah segala hal yang tidak kamu suka menjadi baik
bukan karena aku ingin menjadi seperti yang kamu inginkan
melainkan aku sadar segala yang aku lakukan pada masa itu tidak ada baiknya
jadi, sekarang lihatlah kesini
apa kamu tidak bangga terhadap dirimu?
kamu sudah menjadi sebuah jembatan untuk perkembangan seseorang

Kumpulan kata ini akhirnya berani aku terbitkan setelah berpuluh-puluh hari aku biarkan membusuk di draft. Terhitung semenjak tanggal sembilan september dua ribu empat belas. Ketika seorang temanku, yang juga temanmu mem-bully-ku dengan mengucapkan selamat hari (gagal) jadi yang ke tiga tahun, seketika itu pula segala kenangan tentangmu seperti ter-restore sendiri tanpa disuruh. Memang salahku yang lupa memilih opsi ‘empty the recycle bin’ untuk segala kenangan tentangmu. Berat sekali rasanya.

Kumpulan kata ini disusun setelah mendengarkan lagu ‘Raisa – Pemeran Utama’ dan ‘Adera -Melewatkanmu’. Teruntuk kamu yang hari ini sedang berulang tahun. Selamat Ulang Tahun.

Ribuan detik aku habisi
Jalanan lengang aku tentang
Oh gelapnya, tiada yang buka
Adakah dunia mengerti?
Miliaran panah jarak kita
Tak jua tumbuh sayapku
Satu-satunya cara yang ada
Gelombang untuk aku bicara
Tahanlah, wahai waktu
Ada selamat ulang tahun
Yang harus tiba tepat waktunya
Untuk dia yang terjaga menantiku
Tengah malamnya lewat sudah
Tiada kejutan tersisa
Aku terlunta, tanpa sarana
Saluran untuk aku bicara
Jangan berjalan, waktu
Ada selamat ulang tahun
Yang harus tiba tepat waktunya
Semoga dia masih ada menantiku
Mundurlah, wahai waktu
Ada selamat ulang tahun
Yang tertahan untuk kuucapkan
Yang harusnya tiba tepat waktunya
Dan rasa cinta yang selalu membara
Untuk dia yang terjaga menantiku
Yang sudah tidak labil,

July

Rabu, 04 Februari 2015

Bertemu Bang Dika

Hasil dari iseng-iseng twitteran kali ini benar-benar berhadiah.
Mengapa begitu?

Karena dari iseng-iseng mainan twitter akhirnya aku bisa ketemu penulis novel komedi paling ngehits di nusantara Indonesia. Makhluk yang aslinya biasa aja, tapi jadi menawan karena kreatifitasnya. Raditya Dika.

*Jadwal meet and greet Bang Dika*

Waktu lihat jadwal meet and greet-nya bang Dika, aku kira Malang tidak berada dalam daftar barisan kota yang akan diampiri bang Dika. Ternyata dugaanku salah. Bang Dika menyelipkan nama kotaku untuk Ia kunjungi dalam acara meet and greet / booksigning. Bahagialah aku. Di jadwal itu tertulis tanggal 3 Februari 2015. Dimulailah rencana untuk mengatur jadwal agar pada hari itu aku gak ada kegiatan atau janjian dengan siapapun kecuali bang Dika. Ya meskipun tanggal itu adalah hari selasa, yang artinya kuliahku full sampe jam 4, bolos sekali bukan masalah, kan? Sampai menabung agar buku ‘Koala Kumal’ sampai di genggaman.
Rencana berjalan lancar. Jadwal tanggal 3 Februari (berusaha) dikosongkan, hanya punya janji untuk menjadi penanggung jawab transportasi acara kelas, itu bisa diselesaikan waktu acara bertemu bang Dika selesai. Uang terkumpul hingga lebih dari harga buku, artinya juga bisa jajan berlebihan di Malang Town Square (dibaca: Matos) tempat meet and greet. Huray.
Setelah selesai melakukan kewajiban sebagai muslimah *cielaaah*. Pukul 12.10 saat matahari dalam keadaan berbahagia menampakkan dirinya diatas kepala. Aku berangkat dari kampus menuju Matos. Tempatnya tidak jauh, hanya memerlukan waktu 5 menit untuk jalan dan menyebrang, dibantu pak satpam.
Kurang lebih pukul 12.15 aku sudah berada di dalam Matos, padahal acara bang Dika baru dimulai pukul 15.00. perjuangan banget, kan?. Aku menengok ke Toko Buku Gramedia ternyata masih sepi. Aku memilih untuk mengisi perut dulu yang memang dari pagi belum terisi. Terpilihlah food court sebagai tempat memanjakan perutku waktu itu.
Kurang lebih satu jam aku menghabiskan waktu untuk makan. Aku bergegas menuju Toko Buku Gramedia dengan keadaan raut muka yang sangat gembira karena perut yang terisi sangat penuh. Disana sudah nampak ramai. Aku mencari posisi, “biar jadi antrian pertama” pikirku. Tapi ternyata posisi yang aku ambil salah, posisiku malah menjadi yang paling akhir. Kurang hoki sepertinya. Aku tidak kehabisan akal, aku menerobos barisan-barisan yang berada di depanku dengan gaya “pura-pura gak punya dosa, ah”. Akhirnya aku berada pada barisan tengah. Hahahaha. Berusaha tertawa layaknya Duryadana dalam film Mahabarata. Abaikan.
Pukul 14.00. Angka yang tertampil pada jam tanganku. Masih satu jam lagi, beruntungnya kakiku ini ciptaan Tuhan, kalau saja made in China mungkin sudah minta ganti onderdil. Berdiri dari pukul 13.00 hingga kali ini, mungkin akan sampai nanti selesai mengikuti acara ini.
Menunggu memang membosankan, tetapi jika menunggu dengan imbalan sangat berharga, membosankan itu dapat bertransformasi menjadi menyenangkan, bahkan mendatangkan manfaat dan pengalaman-pengalaman baru. Seperti bertemu dengan teman baru dari fakultas lain di kampusku, dari universitas lain di kotaku, dari kota lain di provinsiku. Dan tolong jangan pingsan karena kalimatku barusan sangatlah berlebihan.
Detik-detik bang Dika datang akhirnya terjadi. Para pembaca dan pencintanya bersorak-sorai menyambut kedatangan bang Dika. “Bang Dika pendek, followersnya banyak” terus menerus menggema di dalam toko buku. Paduan antara suara merdu hingga suara cempreng tergabung menjadi satu. Sepuluh menit setelah bang Dika datang, antrian booksigning akhirnya dijalankan. Beruntunglah yang menjadi barisan paling depan, karena limabelas menit pertama mendapat kesempatan foto eksklusif dengan bang Dika, berdua hanya berdua. Dan aku bukanlah sekumpulan orang beruntung, aku mendapat giliran setelah limabelas menit, foto bertiga sesuai antriannya.
“Julaaaaaaaaiiiii.....”, ucap bang Dika saat aku sodorkan novel yang aku beli. Bang Dika hebat sekali. Dia tahu namaku sebelum bertanya kepadaku. Dia tahu namaku hanya dengan membuka novel milikku yang di pojok kanan atas bertuliskan ‘July J’. Aku salut dengan bang Dika, kehebatan bang Dika mengalahkan Romy Rafael. Luar Biasa.

Akhirnya, setelah novel milikku ditanda tangani dan aku sudah mendapat foto bersama meskipun dengan dua manusia asing yang baru aku kenal dua puluh menit yang lalu. Aku kembali menuju parkiran berniat melanjutkan kegiatanku selanjutnya. Dan perlu bang Dika ketahui, aku melanjutkan kegiatanku dengan senyum riang gembira. Senyum itu juga belum pudar sampai tulisan ini selesai. Terimakasi bang Raditya Dika.

*Antrian di dalam toko buku*

 *waktu tim pegawai gramedia berkata "angkat novelnya tinggi-tinggi"*



*yang udah punya kaosnya, ditandatangani juga*


*ini foto aku bareng bang Dika dan teman-teman yang aku kenal 20 menit sebelumnya*

*ekor antrian sudah sampai pintu masuk Matos* 

Untuk yang tanya dengan siapa aku kesana. fyi, aku solo karir. sekian.