Mengenai Saya

Foto saya
call me July /.\ Kind Autist. Overordinary girl in this extraordinary world :)

Minggu, 31 Juli 2016

Dalam Sebuah Penantian

“lho, kamu Uli, kan? Mau kondangan bareng anak smp juga?” kata seorang pria di sebelah Uli yang sedang memakirkan motornya.

“eh iya, tadi aku udah janjian sama Remy kak. Bentar, aku inget sih wajahmu wajah-wajah anak smpku, tapi nama kamu siapa? Hehe aku lupa kak.” Tandas Uli sambil nyengir.

“hmmm sok terkenal deh kamu. Sini udah hafal nama, situ sok-sokan lupa namaku. Hmmm.” Gumam pria itu sambil berjalan mendahului Uli.

Uli berlari kecil menuju pria itu, “eh beneran kak. Aku ingatnya kamu dulu anak kelas sebelah kan ya? Temen deketnya Remy?”

“iya....” jawabnya sambil berjalan santai tapi tetap mendahului.

“eh kak, tungguuu..... kenalan lagi deh kak mendingan” kata Uli sambil menyodorkan tangan.

“Uli Ania, anak terkenal se SMP Tujuhbelas Agustus” Uli mengawali perkenalan dengan gaya centil sok asik.

“Aku Nae..” tangannya balik menyalami dan tersenyum.

Uli dan Nae saling senyum dan berjalan beriringan ke tempat yang lebih dekat dengan janur kuning.

“NAE!!!!” teriak pria tinggi dari bawah janur kuning. Uli malah menoleh ke Nae, bukan ke sumber suara.

Nae balik menoleh ke Uli dan bertanya “itu Remy, kakak-kakakanmu waktu smp, kan?”

“hehehe..” Uli tersenyum.

Di sana Remy bersama teman alumni SMP Tujuhbelas Agustus. Nae dan Remy berbincang melepas rindu. Dan Uli, tersenyum kepada semua temannya, meski di dalam senyumnya masih terlukis keresahan yang tidak terperi. Keresahan yang tidak dapat ditebak menggunakan jari.

“kondangan mulu ya kita, kapan kita dikondangin?” Remy memulai pembicaraan setelah mendapat tempat duduk. Sikunya memaksa menyenggol Nae.

syarat e nikah niku mung kale” jawab Nae ke Remy dengan wajah serius.

“Apa aja emang?” Uli menyela percakapan mereka.

KALE SINTEN?” Jawab Nae sambil berteriak dan disambut tawa terbahak-bahak semua teman.

Uli hanya mampu tersenyum. Ia mungkin lupa caranya tertawa. Tersenyum menurutnya sudah bahagia di level paling tinggi untuk saat seperti ini.

Di tangan kanan Uli menggenggam besi kesayangannya, dikunci, dibuka kembali, pencet whatsapp, liat tulisan ‘Last Seen Today 19:51’ dan saat itu memang pukul 19:51, tapi pesan kepada seseorangnya masih centang dua, belum centang biru. Dilakukannya terus menerus, lima menit sekali. Kecewa setiap lima menit sekali terlihat di raut mukanya.

Sampai ada seorang berbaju beskap menghampiri, menyilakan untuk mengambil makanan di area prasmanan.

“Yuk, dek.” Ajak Remy kepada Uli yang memang sudah dianggap seperti adik kandungnya sendiri.

“hehe. Iya. Yuk!” balas Uli dengan tersenyum terpaksa.

Sekembalinya mereka dari mengambil makanan, Uli masih tetap sibuk dengan besi elektroniknya, Uli masih sibuk menunggu whatsapp yang terabaikan dan tak terbalas, meski kadang sesekali memakan makanannya sesendok demi sesendok.

“makan lauk hape, mbak?” celetuk Nae bercanda.

“hehe, enggak kok. Nunggu kabar temen karena mau latihan.” Jawab Uli berbohong.

“eh, eh, emang mau latihan apa?” Nae bicara dengan mulut penuh dengan nasi.

“mending kamu telen dulu, Nae. Tersedak ntar ndak lucu, lho” tindas Remy di sebelah Nae.

“Remy gak peka. Nae pengen jadi adik iparmu kayaknya.” Qahsi yang daritadi hanya tertawa akhirnya mengeluarkan suara.

he gak he, ya kan temen lama jarang ketemu jadi udah gak tahu kesibukannya apa.” Nae membela diri.

“halah, Nae. Daritadi tiap ngomong sama kita dan ngomong sama Uli ekspresimu beda tau!” Zul berpendapat setelah main mata dengan Qahsi dan Remy.

“ya sudah. Habis aku, habis kak. Ampun. Diam aja lah kalau gitu.” Nae pasrah dengan senyum jengkel.

Zul mengajak teman-temannya pamit ke pengantin setelah dirasa amunisi dalam perut terpenuhi. 

Saling bersalaman dengan pengantin dengan memberi ucapan selamat, selamat telah lolos dari 
ketakutan menjadi parasit lajang.

“Foto dulu yuk, biar nanti bisa dipost di IG.” Ajak Qahsi kepada semua temannya. Qahsi memang mempunyai keinginan eksis yang sangat tinggi.

“Iya, foto dulu. Biar koleksi fotoku nanti lengkap.” Timpal Maria, pengantin wanita yang memang alumni SMP Tujuhbelas Agustus juga.

Selain Uli, Remy, Nae, Qahsi, dan Zul, masih ada teman-teman alumni lain seperti Uni—bukan kembaran Uli--, Lin, dan masih banyak lagi yang ingin foto di pelaminan.

“dijadiin 2 kloter saja mbak-mbak mas-mas.” Ucap seorang pramufoto yang risih melihat pelaminan menjadi penuh.

“yaudah deh, aku gak ikut aja.” Uli turun dari pelaminan.

“nanti sama aku aja ya, Uli.” Nae tiba-tiba mengikuti langkah Uli dari belakang. Menjajari Uli yang sedang berdiri di sebelah pramufoto. Melihati teman-temannya yang sedang berpose.

“Modus! Modus!” teriak teman-temannya membuat rusuh.

Di parkiran, Nae mengeluarkan motor Uli, membayar jasa parkirnya, meletakkan motor Uli di depan pemiliknya.

“ini motormu. Hati-hati ya pulangnya. Kalau mau latihan, yang semangat latihannya.” Nae tersenyum simpul sambil memandangi wajah Uli.

“terimakasih, Nae. Kamu juga hati-hati pulangnya.” Balas Uli seraya menarik gas motornya. Meninggalkan Nae dan teman lainnya di belakang dengan hati yang berkecamuk tajam.

Uli memang benar-benar akan latihan. Latihan teater yang sangat ia minati. Latihan teater yang sangat ia nikmati.

Telinga-telinga disumbat harta dan martabat. Mulut-mulut dibungkam iming-iming dan ancaman. Orang-orang penting yang berpesta setiap hari. Membiarkan leher mereka dijerat dasi. Agar hanya bisa mengangguk dengan tegas, berpose dengan gagah di depan kamera otomatis yang gagu” bait puisi karya Gus Mus yang memang akan diteatrikalisasi oleh Uli baru saja dibaca olehnnya.

“Tante Uli, ada telfon.” Teriak salah satu teman teaternya yang memegang handphone Uli. Uli berlari menghampirinya, menghabiskan rasa ingin tahunya tentang seorang yang menelepon. Uli berharap ia adalah seseorang yang sangat ia tunggu membalas chatnya via whatsapp.

Ditatapnya layar yang tidak begitu lebar bila dibandingkan dengan yang sedang ngetrend di kalangan sekarang. ‘Nomor asing’ terpampang di sana. Cepat-cepat ia angkat, siapa tahu seseorang yang ia tunggu itu memakai nomor temannya.

Yeoboseyo” telefon itu diangkat Uli dengan usaha keras diriang-riangkan. Kebiasaan Uli saat mengangkat telefon seseorang itu.

“halo” terdengar suara, tetapi bukan suara seseorang yang sangat Uli kenal. Suaranya tidak asing, hanya saja Uli sedikit lupa.

“ya, halo, siapa?” tanya Uli penasaran. Masih berharap ia salah dengar. Masih berharap itu suara seseorang yang ia tunggu.

“belum 2 jam pisah, udah lupa aja suaranya.” Balas suara yang ada di seberang.

“oh, kamu Nae. Ajaib kamu. Bisa dapet nomerku. Ah pasti dari Remy, ya?” cerocos Uli dengan usaha masih pura-pura riang.

“kamu pasti sudah tahu, alumni SMP siapa lagi yang masih nyambung sama kamu selain Remy? Kamu sembunyi mulu.” Suara Nae halus merasuk telinga Uli, Uli tersenyum secara tidak sadar.

“Enggak, aku gak sembunyi kok. Ya emang aku gak tahu aja caranya bagi-bagiin nomerku ke lainnya, aku gak punya nomer kalian sih.” Jawab Uli membela diri.

“hmmm ngeles aja kamu, Uli. Iya deh percaya aja deh daripada masalahnya makin panjang.” Sambil tertawa, Nae memang senang bercanda.

“lho dipanjangin juga gapapa kok, dilebarin juga boleh. Nanti tinggal dicari luasnya aja.” Uli mencoba mengimbangi bercandaan Nae.

“udah-udah, ah. Kamu masih latihan?” timpal Nae dengan pertanyaan,

“iya, masih. Baru mulai malah. Hehehe.” Jawab Uli seadanya.

“udah jam sepuluh ini, kok kamu baru mulai latihan? Terus pulangnya jam berapa kalau sekarang baru mulai?”

“gak tahu, aku cuma ngikutin aja sih, kan aku cuma anggota.”

“memangnya gak bisa ditunda besok ya?”

“besok udah perform, kak. Masa iya sekarang gak latihan? Ini ya dianggap gladi bersih gitu lah.”

“yaudah, lanjutin gih latiannya. Nanti kalau udah selesai cepet pulang, ya? Atau mending numpang nginep di kost temenmu aja.” Nae menasehati.

“iya, aku latihan dulu ya, ya mungkin nanti aku nginep di kost temen kok.”

“baguslah, kalau gitu kamu gak bikin aku khawatir. Hahaha.” Nae tertawa terbahak-bahak.

“apa sih, Nae?” pertanyaan Uli yang sedang malu-malu sangat retoris.

“gak kok, gapapa. Semangat ya latihannya.”

“iya, aku semangat kok.”

“Assalamualaikum...”

“Waalaikumsalam...” seraya telfon terputus bersamaan.