“lho, kamu Uli,
kan? Mau kondangan bareng anak smp juga?” kata seorang pria di sebelah Uli yang
sedang memakirkan motornya.
“eh iya, tadi
aku udah janjian sama Remy kak. Bentar, aku inget sih wajahmu wajah-wajah anak
smpku, tapi nama kamu siapa? Hehe aku lupa kak.” Tandas Uli sambil nyengir.
“hmmm sok
terkenal deh kamu. Sini udah hafal nama, situ sok-sokan lupa namaku. Hmmm.”
Gumam pria itu sambil berjalan mendahului Uli.
Uli berlari
kecil menuju pria itu, “eh beneran kak. Aku ingatnya kamu dulu anak kelas sebelah
kan ya? Temen deketnya Remy?”
“iya....”
jawabnya sambil berjalan santai tapi tetap mendahului.
“eh kak,
tungguuu..... kenalan lagi deh kak mendingan” kata Uli sambil menyodorkan
tangan.
“Uli Ania, anak
terkenal se SMP Tujuhbelas Agustus” Uli mengawali perkenalan dengan gaya centil
sok asik.
“Aku Nae..”
tangannya balik menyalami dan tersenyum.
Uli dan Nae
saling senyum dan berjalan beriringan ke tempat yang lebih dekat dengan janur
kuning.
“NAE!!!!” teriak
pria tinggi dari bawah janur kuning. Uli malah menoleh ke Nae, bukan ke sumber
suara.
Nae balik
menoleh ke Uli dan bertanya “itu Remy, kakak-kakakanmu waktu smp, kan?”
“hehehe..” Uli
tersenyum.
Di sana Remy bersama
teman alumni SMP Tujuhbelas Agustus. Nae dan Remy berbincang melepas rindu. Dan
Uli, tersenyum kepada semua temannya, meski di dalam senyumnya masih terlukis
keresahan yang tidak terperi. Keresahan yang tidak dapat ditebak menggunakan
jari.
“kondangan mulu
ya kita, kapan kita dikondangin?” Remy memulai pembicaraan setelah mendapat
tempat duduk. Sikunya memaksa menyenggol Nae.
“syarat e nikah niku mung kale” jawab Nae
ke Remy dengan wajah serius.
“Apa aja emang?”
Uli menyela percakapan mereka.
“KALE SINTEN?” Jawab Nae sambil berteriak
dan disambut tawa terbahak-bahak semua teman.
Uli hanya mampu
tersenyum. Ia mungkin lupa caranya tertawa. Tersenyum menurutnya sudah bahagia
di level paling tinggi untuk saat seperti ini.
Di tangan kanan
Uli menggenggam besi kesayangannya, dikunci, dibuka kembali, pencet whatsapp, liat tulisan ‘Last Seen Today 19:51’ dan saat itu
memang pukul 19:51, tapi pesan kepada seseorangnya masih centang dua, belum
centang biru. Dilakukannya terus menerus, lima menit sekali. Kecewa setiap lima
menit sekali terlihat di raut mukanya.
Sampai ada
seorang berbaju beskap menghampiri, menyilakan untuk mengambil makanan di area
prasmanan.
“Yuk, dek.” Ajak
Remy kepada Uli yang memang sudah dianggap seperti adik kandungnya sendiri.
“hehe. Iya.
Yuk!” balas Uli dengan tersenyum terpaksa.
Sekembalinya
mereka dari mengambil makanan, Uli masih tetap sibuk dengan besi elektroniknya,
Uli masih sibuk menunggu whatsapp yang
terabaikan dan tak terbalas, meski kadang sesekali memakan makanannya sesendok
demi sesendok.
“makan lauk
hape, mbak?” celetuk Nae bercanda.
“hehe, enggak
kok. Nunggu kabar temen karena mau latihan.” Jawab Uli berbohong.
“eh, eh, emang
mau latihan apa?” Nae bicara dengan mulut penuh dengan nasi.
“mending kamu
telen dulu, Nae. Tersedak ntar ndak
lucu, lho” tindas Remy di sebelah Nae.
“Remy gak peka.
Nae pengen jadi adik iparmu kayaknya.” Qahsi yang daritadi hanya tertawa
akhirnya mengeluarkan suara.
“he gak he, ya kan temen lama jarang
ketemu jadi udah gak tahu kesibukannya apa.” Nae membela diri.
“halah, Nae.
Daritadi tiap ngomong sama kita dan ngomong sama Uli ekspresimu beda tau!” Zul
berpendapat setelah main mata dengan Qahsi dan Remy.
“ya sudah. Habis
aku, habis kak. Ampun. Diam aja lah kalau gitu.” Nae pasrah dengan senyum jengkel.
Zul mengajak
teman-temannya pamit ke pengantin setelah dirasa amunisi dalam perut terpenuhi.
Saling bersalaman dengan pengantin dengan memberi ucapan selamat, selamat telah
lolos dari
ketakutan menjadi parasit lajang.
“Foto dulu yuk,
biar nanti bisa dipost di IG.” Ajak Qahsi kepada semua temannya. Qahsi memang
mempunyai keinginan eksis yang sangat tinggi.
“Iya, foto dulu.
Biar koleksi fotoku nanti lengkap.” Timpal Maria, pengantin wanita yang memang
alumni SMP Tujuhbelas Agustus juga.
Selain Uli, Remy,
Nae, Qahsi, dan Zul, masih ada teman-teman alumni lain seperti Uni—bukan
kembaran Uli--, Lin, dan masih banyak lagi yang ingin foto di pelaminan.
“dijadiin 2
kloter saja mbak-mbak mas-mas.” Ucap seorang pramufoto yang risih melihat
pelaminan menjadi penuh.
“yaudah deh, aku
gak ikut aja.” Uli turun dari pelaminan.
“nanti sama aku
aja ya, Uli.” Nae tiba-tiba mengikuti langkah Uli dari belakang. Menjajari Uli
yang sedang berdiri di sebelah pramufoto. Melihati teman-temannya yang sedang
berpose.
“Modus! Modus!”
teriak teman-temannya membuat rusuh.
Di parkiran, Nae
mengeluarkan motor Uli, membayar jasa parkirnya, meletakkan motor Uli di depan
pemiliknya.
“ini motormu.
Hati-hati ya pulangnya. Kalau mau latihan, yang semangat latihannya.” Nae
tersenyum simpul sambil memandangi wajah Uli.
“terimakasih,
Nae. Kamu juga hati-hati pulangnya.” Balas Uli seraya menarik gas motornya.
Meninggalkan Nae dan teman lainnya di belakang dengan hati yang berkecamuk
tajam.
Uli memang
benar-benar akan latihan. Latihan teater yang sangat ia minati. Latihan teater
yang sangat ia nikmati.
“Telinga-telinga disumbat harta dan martabat.
Mulut-mulut dibungkam iming-iming dan ancaman. Orang-orang penting yang
berpesta setiap hari. Membiarkan leher mereka dijerat dasi. Agar hanya bisa mengangguk
dengan tegas, berpose dengan gagah di depan kamera otomatis yang gagu” bait
puisi karya Gus Mus yang memang akan diteatrikalisasi oleh Uli baru saja dibaca
olehnnya.
“Tante Uli, ada
telfon.” Teriak salah satu teman teaternya yang memegang handphone Uli. Uli berlari menghampirinya, menghabiskan rasa ingin
tahunya tentang seorang yang menelepon. Uli berharap ia adalah seseorang yang
sangat ia tunggu membalas chatnya via whatsapp.
Ditatapnya layar
yang tidak begitu lebar bila dibandingkan dengan yang sedang ngetrend di kalangan sekarang. ‘Nomor
asing’ terpampang di sana. Cepat-cepat ia angkat, siapa tahu seseorang yang ia
tunggu itu memakai nomor temannya.
“Yeoboseyo” telefon itu diangkat Uli
dengan usaha keras diriang-riangkan. Kebiasaan Uli saat mengangkat telefon
seseorang itu.
“halo” terdengar
suara, tetapi bukan suara seseorang yang sangat Uli kenal. Suaranya tidak
asing, hanya saja Uli sedikit lupa.
“ya, halo,
siapa?” tanya Uli penasaran. Masih berharap ia salah dengar. Masih berharap itu
suara seseorang yang ia tunggu.
“belum 2 jam
pisah, udah lupa aja suaranya.” Balas suara yang ada di seberang.
“oh, kamu Nae.
Ajaib kamu. Bisa dapet nomerku. Ah pasti dari Remy, ya?” cerocos Uli dengan
usaha masih pura-pura riang.
“kamu pasti
sudah tahu, alumni SMP siapa lagi yang masih nyambung sama kamu selain Remy?
Kamu sembunyi mulu.” Suara Nae halus merasuk telinga Uli, Uli tersenyum secara
tidak sadar.
“Enggak, aku gak
sembunyi kok. Ya emang aku gak tahu aja caranya bagi-bagiin nomerku ke lainnya,
aku gak punya nomer kalian sih.” Jawab Uli membela diri.
“hmmm ngeles aja
kamu, Uli. Iya deh percaya aja deh daripada masalahnya makin panjang.” Sambil
tertawa, Nae memang senang bercanda.
“lho dipanjangin
juga gapapa kok, dilebarin juga boleh. Nanti tinggal dicari luasnya aja.” Uli
mencoba mengimbangi bercandaan Nae.
“udah-udah, ah.
Kamu masih latihan?” timpal Nae dengan pertanyaan,
“iya, masih.
Baru mulai malah. Hehehe.” Jawab Uli seadanya.
“udah jam
sepuluh ini, kok kamu baru mulai latihan? Terus pulangnya jam berapa kalau
sekarang baru mulai?”
“gak tahu, aku
cuma ngikutin aja sih, kan aku cuma anggota.”
“memangnya gak
bisa ditunda besok ya?”
“besok udah
perform, kak. Masa iya sekarang gak latihan? Ini ya dianggap gladi bersih gitu
lah.”
“yaudah,
lanjutin gih latiannya. Nanti kalau udah selesai cepet pulang, ya? Atau mending
numpang nginep di kost temenmu aja.” Nae menasehati.
“iya, aku
latihan dulu ya, ya mungkin nanti aku nginep di kost temen kok.”
“baguslah, kalau
gitu kamu gak bikin aku khawatir. Hahaha.” Nae tertawa terbahak-bahak.
“apa sih, Nae?”
pertanyaan Uli yang sedang malu-malu sangat retoris.
“gak kok,
gapapa. Semangat ya latihannya.”
“iya, aku
semangat kok.”
“Assalamualaikum...”
“Waalaikumsalam...”
seraya telfon terputus bersamaan.