“hoaaaaammmmmmm.....” Uli menguap
perlahan, berharap telinga yang sedang bertransformasi menjadi besi canggih
milik orang yang sedang di seberang sana tidak mendengarkan.
“Kamu ngantuk, yaaaa?” tanya orang
tersebut menyelidik.
“Hehe enggak kok. Mataku masih 100watt, kak.”
Jawab Uli berbohong, padahal matanya sudah segaris. Namun, demi mendengar suara
ajaib dari seberang sana, Uli rela menghiraukan kantuknya.
“Sebentar, yo. Aku mau ngetik dulu.”
“Siaaaaappppp!” dengan nada –pura-pura--
semangat Uli menanggapi.
Seperenampuluh
menit kemudian.
“halooooo.....” suara dari seberang
kembali menyala, tetapi mata Uli sudah sedikit terlelap meski belum sepenuhnya.
“yaa, halooooo.....” jawab Uli sekenanya
sambil memaki dirinya sendiri dalam hati mengapa begitu mudah untuk tertidur
padahal sedang dalam aksi pura-pura.
“tuh kan kamu udah ngantuk, bobo sana, besok
juga kuliah, kan?”
“heheh, ngantuk dikit kok. Btw itu ada suara,
kamu lagi main CS?”
“hehehehe enggak, bukan CS tapi ini PB.”
Jawab suara dari seberang, mungkin dengan meringis.
“hmmmm udah bakal gak tidur kalau jam segini
baru memulai ngegame.” Gerutu Uli.
“udah kamu tidur aja
sana, udah ngantuk juga, besok kuliah. Aku juga tidur kok, tapi nanti.”
“nantimu itu lamaaa, palingan juga nanti
bobomu jam 5 pagi.”
“enggak kok. Ya kondisional aja sih, mungkin
sejam lagi.”
“preeeeeeeetttttt.....” Uli kesal.
“ya sejam matiin PB, sejam buka CS, sejam
matiin CS, sejam buka DOTA, gitu terus wes. Hahahahaha” tanpa dosa dan
tertawa sangat renyah.
“hmmm.... jadi ingin ngomong kasar deh”
gerutu Uli lagi dan lagi.
“yaudaaaah, tinggal ngomong KASAR toh,
udah...”
“mboooooh....”
“mesti lho bilang e pengen ngomong kasar tapi
ternyata bilangnya emboh terus. Tiduro
kok.”
“iyawes aku tidur.” Menyerah, akhirnya
Uli mengalah untuk tidur. Bukan semata karena bosan berdebat, melainkan
mengalah. Uli mencoba membuat asumsi sendiri bahwa menyuruh tidur bukanlah
bentuk ketakutan seseorang jika besok terlambat, melainkan karena ia tak ingin
diganggu dalam misi menyelesaikan permainannya.
“nah, gitu, yawes, assalamualaikum.”
Pamit suara di seberang.
“waalaikumsalam.” Seraya memencet tombol
merah tanda menutup telepon. Tidak seperti biasanya yang selalu saling menunggu
siapa yang paling dulu menutup telepon, atau saling menyuruh menutup telepon
satu sama lain, kali ini Uli tanpa basa-basi menutup teleponnya, hanya ingin
membiarkan ia bermanjaan dengan permainannya, pun agar tidak dianggap sebagai
suatu hal yang nyrimpeti hobinya.
Begitulah
yang terjadi setiap malam. Saling lempar obrolan tidak jelas, kadang membaca
puisi-puisi tidak jelas yang kutulis di lini masa sebuah platform yang digandrungi anak muda, kadang ia bermain gitar sambil
bernyanyi meski suaranya sedikit sumbang, terkadang lagunya membuatku
senyum-senyum sendiri, meskipun aku tahu bahwa lagunya tidaklah khusus untuk
yang mendengar, melainkan karena ia ingin melagukan, itu saja. Dan diakhiri
dengan perdebatan maha tidak penting masalah jam tidur dan kebiasaannya bermain
permainan elektronik.
Kesal, marah, kadang juga rasa ingin memukul muncul, tapi semua mudah hilang
karena kemahirannya untuk membuat Uli tertawa terbahak-bahak lagi.
Mata
Uli tetiba mengatup tanpa sadar, tetapi kakinya seperti berlari-lari tidak
jelas. Kesadaran Uli sudah habis, mungkin hanya bunga tidur pikirnya, namun
gerak kakinya makin kencang. Matanya yang sedari tadi mengatup, terbuka secara
perlahan, terlihat segaris dan kemudian menjadi semakin lebar. Namun,
pandangannya bukanlah sebuah atap ruang kamarnya, melainkan seperti kanopi
setengah lingkaran berwarna merah. Kakinya tak lagi berlari kencang, tapi
berhimpitan dan pantatnya seperti berselancar ke bawah.
Lambat
laun, terlihat ada sebuah lubang bercahaya di bawah sana. Cahayanya sangat
memekakkan mata, tidak ramah. Sampailah Uli di cahaya itu, terduduk ia di mulut
kanopi yang sedari tadi menyita tatapannya. Kini matanya terpancing pada
hamparan luas laut, entah benar laut atau mungkin samudra, entahlah, karena
untuk disebut laut pun, belum pernah Uli memandang laut sebegitu luasnya.
Tanpa
sadar, Uli terduduk di atas pasir yang sangat putih dan bersih. Air muka Uli
kaget bukan kepalang, kemana perginya kanopi berwarna merah yang sedari tadi
menjadi ‘alat’ perjalanannya. Gerakan apa yang Uli lakukan sehingga berpindah
di atas pasir seputih ini. Terbayang potret wajah bapak dan ibunya yang saat
ini sedang tidak bersamanya, Uli kebingungan. Mungkin untuk di tempat asing
tanpa bapak dan ibunya sudah menjadi hal biasa, tetapi Uli merasa berangkat
tanpa pernah pamit kepada bapak dan ibunya, Uli semakin kebingungan dan
kemudian menangis. Pikiran tentang berangkat tanpa pamit, ditambah pula di
bibir pantai laut luas seperti itu tidak ada satu orang sama sekali, pun
pikiran tentang cara Uli pulang menambah kencang volume tangisnya.
Ditengah
kesumbangan nada tangis Uli, datanglah sesosok perempuan separuh baya yang
sangat amat cantik sekali. Dengan mengenakan jubah putih, semakin terlihat
bersinar, wajahnya terang, matanya teduh, dan senyumnya menyejukkan membuat
tangis Uli kian lama kian reda. Dengan tatapan heran, Uli memberanikan diri
untuk membuka sebuah obrolan penting.
“Anda siapa? Apakah penduduk pantai ini?”
Uli sambil menyeka air matanya dan berusaha senyum seriang mungkin.
“itu akan saya jawab nanti, nak putri.”
Jawab perempuan itu seraya duduk di sebelah Uli dan menyeka air mata Uli.
“mengapa begitu?” tanya Uli heran.
“karena ada hal yang lebih penting dari itu,
nak putri. Kamu sudah jauh-jauh ke sini, tidak untuk pertanyaan semacam itu.”
“Jauh? Seberapa jauh tempat ini dengan rumah
saya, rasanya saya tadi berada di kamar saya, mengapa saya tiba-tiba ada di
sini?” Uli semakin penasaran, dan lebih penasaran lagi ketika bahasa
obrolannya menjadi sangat baku tanpa ia sadari.
“itu akan saya jawab nanti, nak putri. Tapi,
apa benar nak putri ini yang bernama Uli?”
“benar, nama saya Uli. Kalau ibu siapa? Dan
jika ibu memanggil saya nak putri, saya harus memanggil bagaimana?” air
muka Uli semakin heran, bagaimana perempuan itu bisa tahu tentang namanya.
“Panggil saja, Ibu. Atau Ibu putri karena
semua orang di sini juga memanggil saya seperti itu.”
“Baik, Ibu Putri.” Senyum malu serta
sungkan terpaksa terpasang di wajah Uli.
“Tapi apa yang Ibu putri akan beritahu pada
saya? Perihal yang lebih penting dari sekadar di mana tempat ini.”
Penasaran Uli tak bisa ditutup-tutupi.
“Mari ikut saya ke rumah saya, sebentar lagi
matahari akan tenggelam, udara di sini akan menjadi sangat dingin.”
“di mana rumah Ibu putri?”
“Tidak jauh dari sini, mari ikuti saya.”
Kaki
Uli bergembira karena bercumbu dengan pasir pantai yang sangat lembut
kesukaannya. Ibu Putri tersenyum sendiri sebab melihat “tamunya” sangat
bergembira. Di ujung sana terlihat bangunan tinggi yang sudah reot.
“Selamat datang di rumah saya, Nak Putri.”
Sambut Ibu Putri sembari membukakan pintunya, wangi aroma terapi langsung
menyambar hidung siapapun yang ada di sana. Wanginya menenangkan, ramah di
hidung.
Rumah
yang terlihat reot dari luar itu pun menakjubkan dari dalam. Uli masuk satu
langkah, kemudian ia terpanah dengan desain yang sangat disukainya, Shabby chic. Uli tidak sadar pada saat
itu ia terlihat sangat kampungan.
“Ayo, Nak Putri kita ke tempat yang akan
lebih membuatmu terpanah.” Suara Ibu Putri mengagetkan Uli. Ibu Putri
menggandeng tangan Uli seraya mengajak berjalan ke suatu tempat.
Uli
duduk di sebuah ranjang di dalam ruangan yang seperti kamar impiannya.
Bernuansa putih dengan aksen hitam dan banyak motif bunga daisy di sekelilingnya. Masih dengan tatapan heran yang terkesan
kampungan.
“Beristirahatlah di sini, Nak Putri. Apakah
tempatnya tidak nyaman?” Ibu Putri seketika muncul setelah meminta izin
untuk pergi ke dapur.
“Nyaman sekali ini tempatnya. Seperti ada di
dalam mimpi saya. Saya selalu menginginkan tempat yang seperti ini.”
“Sama sepertimu, Nak. Ibu juga suka dengan
nuansa seperti ini. Menenangkan.” Jawab Ibu sambil menuangkan air minum ke
cangkir kaca.
“Apalagi ditambah aroma
terapi dari lilin ini.” Lancang tangan Uli
mengamit lilin yang ada di meja sebelah ranjang.
Ibu
putri menempelkan jari telunjuknya pada lilin tersebut, kemudian lilin itu
menyala. Wajah Uli berubah menjadi takjub meski ia takut untuk bertanya.
“Nak Putri....” panggil Ibu Putri yang
seketika merubah wajah takjub Uli.
“Iya, Ibu Putri?” jawab Uli yang berusaha
tersenyum menyembunyikan ketakjubannya.
“Apakah Nak Putri sedang mencintai seseorang?”
tanya Ibu Putri tanpa basa-basi.
“Maksudnya?” jawab Uli malu-malu.
“Jangan malu, Nak Putri. Sebab itulah kamu
didatangkan ke sini. Jadi, ceritakan saja. Saya hanya ingin tahu. Tidak perlu
malu. Anggap saja sedang mencurahkan isi hati kepada ibumu yang ada di rumah.”
“Tidak, Ibu Putri.
Saya tidak malu.” Jawab Uli berbohong.
“Baik. Begini saja. Apa
Nak Putri kenal dengan pria bernama Ambo?”
tanya Ibu Putri tanpa basa-basi. Detak jantung Uli terasa lebih cepat. Sungguh
ajaib. Dengan pertanyaan tentang mencintai seseorang kemudian disambut dengan
pertanyaan tentang Ambo.
“Kenal, Ibu..” respon Uli malu-malu.
“Melihat airmukanya, sepertinya Nak Putri ada
sebuah rasa yang amat besar dengan nama itu?”
“Tidak, Ibu..” Uli masih terus
menyangkal.
“Tidak perlu berbohong, karena akan melukai
dirimu sendiri. Kedatanganmu ke sini adalah untuk kebaikanmu, Nak.”
“Saya tidak mengerti, Ibu.. mengapa Ibu tahu
tentang perasaan saya, pun tentang Ambo yang orang-orang dalam hidup saya saja
tidak tahu.”
“Begini, Nak. Apakah Nak Putri memang benar
mencintai Ambo?”
“Benar.” Singkat dan lirih suara Uli,
entah mengapa. Tetapi memang jika ditanya kebanyakan orang di kehidupan nyata,
Uli selalu menjawab dengan diam. Mungkin “iya” tetapi hanya dalam hati saja.
“Nak, jawabanmu terdengar yakin, tetapi
mengapa kamu tidak percaya diri dengan perasaanmu sendiri?”
“Saya takut, Ibu.” Uli menunduk,
memikirkan ketakutan yang menghantuinya selama ini.
“Takut apa, Nak?”
“Saya takut, Ibu. Saya takut jika saya
berkata saya mencintainya, saya tidak bisa lagi berteman dengannya. Saya takut
jika saya berkata saya mencintainya, Ambo akan dijadikan bahan olokan
teman-temannya. Saya takut jika saya berkata saya mencintainya, saya akan
menerima penolakan dari Ambo serta lingkungannya. Banyak yang saya takutkan,
Ibu.” Pecah tangis Uli sebab pikirannya sendiri, sebab ketakutannya
sendiri.
“Dijadikan bahan olokan teman-temannya
bagaimana, Nak Putri?”
“Saya tahu, Ibu. Saya tahu bahwa teman-teman
Ambo adalah orang-orang dalam kalangan menengah ke atas. Sedangkan saya? Saya
adalah kalangan menengah ke bawah. Saya tidak bisa seperti mereka. Saya merasa
tidak pantas untuk berkumpul dengan mereka. Setiap berkumpul saya menjadi
minder sendiri, Ibu.”
Ibu
Putri mengelus rambut Uli, membiarkan semua kalimat Uli yang sekian lama
terpendam dapat tercurahkan sekarang.
“Saya juga tahu, Ibu. Saya tahu bahwa Ambo
juga tidak akan pernah mencintai saya. Tapi saya masih bersih kukuh untuk
memahami kepedulian Ambo terhadap saya adalah bentuk cinta. Padahal saya tahu
bahwa itu hanya bentuk pertemanan. Saya bodoh, Ibu. Saya tahu itu.” Suara
Uli menjadi tidak jelas karena tangisnya sudah mencapai sesengukan. Namun Ibu
Putri masih paham dengan apa yang dibicarakan Uli.
“Tenang, Nak.” Sambil memeluk Uli dari
samping menggunakan tangan kanan, tangis Uli padam seketika.
“Nak Putri sudah berapa lama mencintai Ambo?”
“Terhitung dari bulan November 2012, saya
merasa nyaman, kemudian lambat laun saya mencintainya, Ibu.”
“Bukankah pada tenggang masa tahun tersebut,
Ambo pernah menjalin hubungan dengan perempuan lain?”
“Memang benar, pun saya juga menjalin
hubungan dengan pria lain. Namun tetap saja, Ibu. Perasaan saya masih ada untuk
Ambo. Masih banyak.”
“Apakah Nak Putri hanya jatuh cinta ke satu
pria saja dalam kurun waktu selustrum ini?”
“Tidak, Ibu. Maaf. Karena saya merupakan
perempuan yang sangat perempuan. Begitu banyak lelaki yang tiba-tiba membuat
saya jatuh cinta. Tapi jika saya diajak serius dengannya, saya merasa hambar
kembali. Pikiran saya kembali ke Ambo. Saya juga tidak tahu mengapa ini semua
bisa terjadi.”
“Wajar, Nak Putri. Sebab kamu adalah
perempuan yang sangat perempuan. Kamu tidak boleh bertahan kepada seseorang
yang belum jelas kepastiannya. Ambo tidak jelas, kan? Dan juga tidak pasti,
kan?”
Uli
hanya sanggup menunduk dan mengamini kalimat Ibu Putri.
“Nak, dan untuk ketakutanmu itu hanya sebatas
ketakutan saja. Bukankah semua makhluk hidup ini setara? Tidak ada kaum atas
atau kaum bawah, semua sama hanya manusia sendiri yang membatasi pergaulannya.
Coba jika kamu berkumpul dan menjadi satu dengan lingkungan Ambo, tidak akan
mungkin terjadi sebuah penolakan. Sebab sejauh saya tahu, lingkungan Ambo
sangatlah ramah dan baik. Nak Putri hanya termakan oleh ketidak percayadirian
Nak Putri sendiri.” Masih dengan pelukan di tangan kanan dan mengelus
rambut Uli.
“Tapi, apakah benar Nak Putri yakin dengan
keadaan Ambo yang seperti sekarang?” tandas Ibu Putri.
“Keadaan apa, Ibu?” tanya Uli heran.
“Tidak perlu saya jelaskan, Nak Putri sudah
paham sendiri, kan?”
“Saya mencoba memahami keadaan yang Ibu Putri
katakan. Dan saya mencoba yakin dengan perasaan saya sendiri. Tidak munafik
jika saat saya benar-benar harus menjalani kehidupan yang sesungguhnya, saya
tidak ingin merasa kekurangan, karena ketika saya hidup bersama Ayah dan Ibu
saya, mereka selalu berusaha untuk kecukupan saya. Maaf untuk pernyataan ini,
Ibu. Saya ingin sekali untuk memberi tahu Ambo. Bahwa usianya sekarang penuh
dengan pertanggung jawaban. Saya ingin sekali menemaninya dari titik terendah,
bersama-sama untuk mencapai titik tertinggi semampu kami. Tapi sangat tidak
mungkin, Ibu. Ambo tidak melibatkan saya dalam kehidupannya. Saya hanyalah
penonton dari drama kehidupannya, bagian tertawa dan menangis mendengar
ceritanya, itu saja. Ia tidak pernah benar-benar melibatkan saya di dalam
kehidupannya.” Pecah lagi tangis Uli sebab ingatannya terhadap kenyataan
yang selama ini ia hadapi.
“Nak, coba kurangi pikiranmu yang seperti
itu. Coba jangan mudah mengambil kesimpulan sendiri. Itu hanya akan mematikan
percaya dirimu. Saya yakin bahwa Ambo tidak seperti yang Nak Putri deskripsikan.
Coba, Nak. Cobalah berpikir positif.” Ibu Putri memberi pesan. Menegakkan
kepala Uli, kemudian menyeka airmata Uli.
“Lalu, Nak
Putri.. apa yang membuatmu sangat mencintai Ambo seperti ini?” Tanya Ibu
Putri dengan tangan yang masih menyeka air mata Uli yang terus menerus keluar.
Uli berusaha menghentikan tangisnya, dan menutup
mulutnya. Uli memilih diam, sebab tidak ada jawaban untuk pertanyaan sejenis
itu.
“Mengapa diam,
Nak Putri? Apakah pertanyaan Ibu Putri tidak kau pahami? Ibu hanya ingin tahu
apa alasan Nak Putri begitu mencintai Ambo?”
“Tidak ada
alasan ibu.” Jawab Uli dengan singkat.
“Bukankah
mencintai seseorang selalu memiliki alasan, Nak? Entah karena dia tampan atau
lain sebagainya?” Intonasi Ibu Putri meninggi, seperti ragu akan jawaban
Uli.
“Tidak, Ibu.
Tidak ada alasan mengapa saya mencintainya. Dia tidak tampan, sama sekali
tidak. Dia tidak penyayang, padahal saya sangat suka pada lelaki penyayang
terutama terhadap lingkungannya. Dia egois. Dia pemalas. Dia tidak jelas. Dia
menjengkelkan. Dia keras kepala. Tapi, tapi tetap Ibu Putri. Perasaan saya
tetap sama.”
“Terkadang saya
juga bingung dengan perasaan saya sendiri. Mengapa saya bisa sejatuh cinta ini
pada Ambo. Hanya karena dia sering menerima curhatan saya, meskipun tidak selalu
membuahkan solusi. Itu pun juga dapat
dilakukan oleh pria lain yang mendekati saya. Tapi, saya hanya merasa nyaman
dengan dia. Saya tidak tahu, Ibu.”
“Terkadang saya
juga ingin menyerah. Tidak tahan bertahan di dalam keadaan yang seperti ini.
tapi, di saat pikiran saya mengajak untuk berhenti, dan berniat move on kadang
hati saya sendiri yang menolak.” Cerita Uli panjang lebar demi menurunkan
intonasi Ibu Putri.
“Saya tidak
menyangka jika perasaan Nak Putri akan sekompleks ini. Namun, Ibu Putri tahu
betul jika Ambo seperti apa yang Nak Putri sebutkan. Ibu Putri tidak dapat
berkata banyak. Hanya saja Nak Putri harus mengilhami sifat air. Dan anggap
saja Ambo adalah batu. Sebab keras kepalanya seperti batu. Sekeras apapun batu,
dia akan terkikis karena terus ditetesi air. Jangan pernah lelah untuk
menjadikan batu mengikis. Segala usaha tidak akan mengkhianati hasil. Jika
tidak dapat menyatu dengan Ambo, Ibu Putri pastikan jika Nak Putri akan bersatu
dengan sosok lelaki yang terbaik untuk Nak Putri. Tenang saja, yang penting
jangan berhenti berusaha.” Ibu Putri menasehati dengan memeluk Uli. Tangis
Uli pecah membayangkan apa jadinya jika benar-benar tidak ada kesempatan untuk
bersatu dengan Ambo.
Tangan Ibu Putri mengusap mata Uli dari samping. Uli
menjadi terlelap, dan kemudian terbangun dengan atap kamarnya di depan mata.
Air mata Uli berceceran membentuk lukisan di bantal.