Jumat, 14 Oktober 2016
Kala
itu matahari menyengat, udara berhembus hangat.
Dengan
cucur keringat pada dahi, segelas teh susu di tangan kiri, tangan lainnya
memencet-mencet layar telepon genggam, aku menunggumu di halte kesukaanku.
Terlalu dini untuk menunggumu datang memang, aku hanya menunggumu memberi kabar
kepastian pertemuan.
Belum
ada notifikasi. Meskipun banyak notifikasi masuk di telefon genggamku, jika
tidak ada darimu, aku menganggapnya tidak ada notifikasi sama sekali.
Dua
hari yang lalu kamu mengajakku bertemu, bukan? Bertemu untuk sekedar memberiku
makanan hasil masakmu pertama kalinya. Untuk sekedar kamu tau, dua hari lalu
aku berbahagia, dan ingin hari ini cepat datang.
Detik
kian cepat, rotasi jarum jam semakin berantakan. Kamu tak lekas datang.
Kumaklumi mungkin kamu masih memenuhi kewajiban seorang lelaki. Sungging senyum
masih bisa ada di raut wajahku untuk saat ini.
Kakiku
kesemutan. Teh susuku hanya tinggal satu kali sedotan. Daya telefon genggamku
menuju titik penghabisan. Kamu, belum juga ada kabar.
“kamu di mana?”
Tiba-tiba
telefon genggamku berdering tanda notifikasi darimu masuk. Kubalas dengan irama
biasa saja. Menghindari kesan berlebihan terhdapmu. Dan pada akhirnya kamu....
Berkata
“hari Selasa aja ya. Aku masih sibuk ini.”
Sungging
senyum masih bisa ada di raut wajahku.Aku masih berbahagia seperti dua hari
yang lalu. Aku juga masih menunggu hari selasa untuk cepat datang. Aku pulang,
meninggalkan atap halte yang sedang tersenyum padaku kasihan.
Selasa,
18 Oktober 2016
Halte
bukan lagi menjadi pilihanku. Aku terlalu malu pada atap yang tersenyum penuh
kasihan kepadaku empat hari yang lalu.
Di
sanalah aku, duduk di antara rak buku usang. Membaca roman picisan dari negeri
barat yang bertajuk “S.H.M.I.L.Y” sambil menunggu telefon genggamku bergetar
karenamu. Ah, kau pasti belum bangun.
Bab
demi bab kuarungi, hingga halaman tengah kutemui. Telefonku berdering, tanpa delay satu detik pun, aku bergegas
membuka, membaca, dan membalasnya. Sampai pada akhirnya aku tersadar bahwa pada
hari Selasa yang kamu sebutkan, kamu melupakan janjimu Jumat silam. Sungging
senyumku perlahan pudar tanpa sadar.
Gontai jalanku mengingat kamu tak
jadi datang. Parahnya, aku ingin kembali mengulang hari Jumat untuk menunggu
hari Selasa dengan keadaan hati yang biasa saja. Hati yang masih penuh harap
jika masih ada hari Selasa untuk kita bersua.
Kini, hati telah terlanjur
porakporanda. Bukan salahmu memang, ini hanya salahku yang terlalu memimpikan
berlebihan tentang bagaimana keadaan jika kita bertemu. Apakah kamu akan
menyambutku dengan senyum sumringah seperti tawa renyah yang selalu kamu
suarakan ketika aku dan kamu berbicara melalui telefon? Apakah aku dan kamu
akan tertawa terbahak saat menceritakan hal lucu? Ah aku ingin tau bagaimana wajahmu
ketika tertawa, pasti lucu sekali. Aku ingin tau bagaimana reaksimu jika
tertawa denganku yang mempunyai tangan jahil untuk mencubit dan memukulmu
pelan. Dan yang paling ingin aku tahu adalah apakah ada momen canggung ketika
aku dan kamu saling menatap. Ya, aku hanya ingin tahu tentang itu.
Hatiku telah terlanjur porakporanda.
Bukan salahmu memang, ini hanya salahku yang terlalu sering berpikir dan
menyimpulkan sendiri. Apakah aku tidak terlalu menarik untukmu sehingga kamu
tidak menyempatkan sedikit waktu untuk menemuiku? Ah aku paling tahu bagaimana
kaummu selalu melihat secara fisik, dan aku adalah kaum penganut tertarik
kepada manusia lawan jenis yang membuat diriku nyaman. Dan aku menyimpulkan
sendiri, bahwa nyaman saja tidak cukup untuk menjadi bagian terpenting dalam
hidupmu. Aku salah. Aku malu. Aku ingin selesai. Tapi aku tidak bisa.