“Hari ini rasanya pengen disurprisein, deh”
Kalimat
itu terbersit dalam benak Delia sebangun tidur. Dengan memainkan handphone-nya, Delia terus memikirkan
kalimat tadi. Dilihatnya obrolan terakhir via aplikasi obrolan yang menggantung
tanpa ada kalimat penutup. Pandangan Delia terpusat pada satu nama. Ambo.
“Apakah Ambo menghilang kemarin dan datang
hari ini untuk memberiku surprise?”
Pikiran
Delia semakin jauh. Namun, semua itu bukan tanpa maksud. Mungkin itu luapan perasaannya
yang telah menunggu tertepatinya janji Ambo yang diberikan kepadanya. Janji
yang ternyata ditunda, dan kemudian Ambo menghilang. Janji tentang pertemuan dengannya,
memberikan Delia makanan yang berhasil dimasaknya untuk pertama kali. Sudah
jelas jika Delia akan menunggu, tapi bukan masakannya yang benar benar
ditunggu, melainkan pertemuannya.
“Ah, semoga hari Senin ini Tuhan berpihak
kepadaku.”
Dengan
mengucapkan kalimat tersebut dalam hati, Delia memulai harinya dengan mandi dan
berdandan cantik. Berharap kalimat tadi akan benar-benar terjadi.
***
Kuliah
Delia selesai lebih cepat karena UTS. Delia terus memantau gerak-gerik
teman-temannya tapi tidak menunjukkan tanda apapun. Tidak ada yang tercurigai
oleh Delia, mereka sedang duduk-duduk di pelataran gedung kuliah seperti
biasanya.
“Rek,
ke Jang-Jang, yuk?” Tiar memecah
keheningan teman-temannya yang sedang memulihkan pikiran setelah pusing dengan
soal ujian.
“Masih jam 12. Ti” timpal Yuma dengan
melirik Tiar.
“gak papa, kan di sana pasti antri jadi kita
datang lebih awal aja.” Rayu Tiar kepada teman-temannya.
“Baiklah, kalau gitu. sekarang kita
berangkat aja.” Ajak Delia bersemangat. Masih
menyimpan angan tadi pagi dan berharap segera terjadi.
“Eh, tapi. Mas Wahanaku ikut yak?”
pinta Tiar dengan senyum-senyum yang dianggap teman-temannya menjijikkan.
“Hmm, ya terserah. Yang penting keluar aja
yuk kita.” Ucap Diyah setengah malas.
“Yaudah kita boncengan aja, Diyah, sama aku
aja, yuk!” kata Vrila memberi saran.
“Oke. Jadi aku sama Yuma. Dan Tiar sama pacarnya.” Delia mengamini saran
Vrilia.
“Ya berarti aku hubungin ya pacarku?”
tanya Tiar genit.
“Iyaaaaaa.....” jawab teman-teman lainnya
setengah kompak karena muak dengan semua pertanyaan Tiar yang seringnya gak
perlu ditanyakan.
Hening.
“Eh, Del!” sentak Tiar mengagetkan semua
temannya.
“Apa?” jawab Delia malas, bersiap
menyemprot teman terbaiknya ini jika pertanyaannya gak penting lagi.
“Si Yanu mau ikut mas Wahanaku main.”
Jleb.
Suara
hati Delia saat itu.
“Bilang aja kalau aku ikut juga, dia juga
pasti gak mau kalau main ada aku.” Jawab Delia panik.
Ya,
Yanu adalah bagian dari masalalu Delia yang paling lalu, bagian dari masa indah
yang paling indah. Delia sangat tau bagaimana Yanu sudah tidak nyaman dengan
keberadaan Delia di dunia. Bukan berlebihan, menurut Delia, Yanu tidak akan
mungkin ikut main jika ada Delia di sekitarnya.
“Cepet bilang sama Mas Wahana biar bilang
kalau aku ikut biar dia gak kecewa kalau tiba-tiba dateng tapi ada aku.”
Tandas Delia semakin panik.
“Emang kenapa sih, Del? Kok kamu panik
banget?” tanya Diyah dan Yuma bersamaan.
“Ya, aku takutnya dia udah jauh-jauh dateng
pengen main, eh malah ketemu aku yang sudah pasti bikin dia badmood.” Jawab
Delia masih panik, harap-harap cemas.
“Ya menurutku dia gak bakal badmood sih kalau
ketemu kamu, asal kamu gak bikin dia gak nyaman aja, Del.” Pendapat Yuma
sambil senyum-senyum.
“Nah, dan bukan tidak mungkin kalau aku
ketemu dia terus aku salting. Itu yang bikin dia gak nyaman. Eh, kamu udah
bilang ke Mas Wahana kan kalau aku ikut?” Delia sangat panik melihat ke
Tiar yang sedang serius melihati handphonenya.
“Udah, aku udah bilang sama dia.
Bentar lagi dia sampe sini dan kita langsung ‘cuss’ yaaak.”
Jawab Tiar santai meskipun ia melihat kawannya panik.
“Hmmm.. Ya sudah. Bentar lagi kita berangkat,
dan semoga dia gak ikut ya?” ucap Delia yang paniknya sudah mulai turun dan
menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.
“Tuh ada Mas Wahana.” Vrila sedang
menunjuk jalan raya depan gedung kuliah.
Di
sanalah ia. Mas Wahana, pujaan hati Tiar yang selalu setia mengantar jemput
setiap hari.
Akhirnya
Delia dan tiga temannya, ditambah satu pasangan sejoli berangkat ke Jang-Jang yang letaknya tidak jauh dari
kampus mereka.
Di
sinilah mereka, di depan tempat makan warna hijau yang sedang sepi tak
berpenghuni. Tidak ada tanda-tanda buka padahal jam satu sudah tinggal beberapa
menit lagi.
“Eh, Ti! Kok sepi? Gak tutup, kan?” Tanya
Yuma menyelidik.
“Gak tau. Tapi aku kemarin ke sini jam segini
udah lumayan rame yang antri.” Jawab Tiar dengan nada dan intonasi polos.
“Coba buka IGnya, Ti.” Ucap Delia memberi
saran.
“Aku aja deh yang buka.” Vrila sedang
menggenggam handphonenya mengajukan
diri.
“hmmm Tiar, pantes aja sepi ternyata bukanya
selasa-minggu aja.” Diyah teriak kesal setelah mengetahui hasil mengintip handphone di depannya.
“Hehehe. Maaf, kan aku gak tahu.” Jawab
Tiar sambil tertawa polos.
“Jadi, kita kemana?” tanya Vrila sambil
memasukkan handphonenya ke saku
celana sebelah kiri.
“Aku pengennya yang ayam-ayam gitu, tapi
bukan ‘nelongso’ kok. Bosen.”
Jawab Yuma yang memang seringnya ngajak ke “nelongso”, tempat makan yang menu
utamanya ayam dan pedas.
“Gimana kalau ke ‘Moumow’ aja?” Ajak
Delia sambil memberi solusi.
“Emang di sana menunya apa aja?” Tanya
Diyah.
“Seblak, hehe. Sama ada chicken wings yang dibumbuin gitu. Gak bedalah sama ‘Jang-Jang’.
Bedanya kalau di ‘Moumow’ itu diskon 50% buat pelajar.” Jawab
Delia panjang lebar.
“Ya udah deh kita ke sana aja.” Jawab Mas
Wahana yang sepertinya sudah gerah ngemper
di depan kios panas-panas.
“Yaudah lah kita kuy!” Jawab Tiar
bahagia.
Duduklah
mereka di sana. Tiga orang di sebelah utara dan tiga orang lainnya di sebelah
selatan, mereka berhadapan. Dipilihlah menu makanan yang ada, dengan tidak
melupakan kodrat kewanitaannya yang selalu cerewet dan ribet, membuat ramai
sebuah tempat yang awalnya sepi.
Seblak,
chicken wings, kentang goreng, dan
berbagai macam frape yang menjadi
kesukaan masing-masing sudah tersaji di antara mereka. Beringas mereka ingin
segera melahap dan memenuhi perut mereka yang sedari pagi dibiarkan kosong.
Menengoklah
Delia ke arah tempat parkir, matanya tertuju pada sepeda motor putih tulang
yang baru saja mendarat. Dilihatnya ada seorang pengendara berbadan tinggi dan
besar di atas motor itu. Seperti tidak asing dengan bentuk badannya, Delia
terpaku penasaran.
“Itu Yanu, Del.” Wahana memberi
notifikasi. Delia mengangguk-angguk reflek.
Ia
sedang membuka helm dan meletakkannya di spion sebelah kanan. Melihat kearah
dalam dengan senyum yang enggan. Melihat mereka yang sedang melahap makanan
dengan suara gaduh yang terdengar tidak jelas. Masuklah ia ke dalam sana, dan
bergabung dengan mereka.
“Haloooo....” sapanya kepada mereka yang
sedang makan. Dijulurkan tangannya tanda mengajak salaman. Satu persatu ia
salami kecuali Delia. Yang sedang mengambil menu dan kertas secara sengaja
untuk menghindari salah tingkah.
Delia
kembali ke tempat duduknya setelah mampu mengendalikan kesalahan tingkahnya.
Belum lama Ia duduk, hatinya masih meletup-letup tak karuan. Diajaklah Ia
berbicara;
“Sehat, Del?” Tanya Yanu sedikit
tersenyum.
“Se..” belum lengkap Delia menjawab sudah
ditimpali dengan,
“Sehatlah! Gendut gitu, kok!” Tertawalah
Yanu terbahak-bahak, sepertinya merasa menang.
“Makasih!” Bentak Delia setengah kesal
dan tangannya reflek memukul lengan Yanu, tidak keras pastinya.
Bercengkeramalah
mereka di sana. Dibuatnya tertawa mereka berenam atas tingkah dan kalimat Yanu
yang menggelitik. Uno Stacko menjadi
pilihan mereka di saat makanan sudah habis dan masih belum ingin beranjak dari
tempat.
Diyah
adalah orang pertama yang merobohkan susunannya dan terpaksa harus siap dicoret
wajahnya dengan lipstick warna merah
yang sangat muda. Dia memberontak dengan berteriak dengan suaranya yang
cempreng. Lucu sekali. Dibantulah Diyah unruk menyusun lagi untuk permainan
selanjutnya.
Dengan
berteriak dan gugup, mereka bermain lagi. Yanu adalah orang kedua yang dicoret
wajahnya dengan lipstick warna merah
nyala. Delia adalah orang yang memaksa mencoret wajah Yanu dengan senyum
kemenangan. Disusunlah lagi susunan itu dengan dibantu Delia.
“Gak usah dibantuin, nanti dikira so sweet.”
Bibir Yanu ringan sekali terbuka mengatakan, tertawalah ia, dan juga mereka
kecuali Delia.
“Tadi Diyah juga kubantuin keleeeuusss.”
Delia membela diri.
Wahana
dan Vrila adalah orang ketiga dan keempat yang merobohkan susunan sebelum
akhirnya mereka memutuskan untuk pulang sebab arah jam sudah 105’ menghadap ke kanan.
“Eh Diyah, aku gak bisa nganterin kamu soalnya
aku ada perlu ini.” Ajak Vrilla berbicara kepada Diyah.
“Lho, lah terus gimana pulangnya Diyah?”
kata Yuma menyela pembicaraan mereka berdua.
“Gini aja. Gimana kalau aku sama Yuma naik
motornya Delia, Delia sama Yanu aja.” Kata Diyah memberi solusi.
“Gapapa kan ya, Yan? Kamu mau kan nganterin
Delia ke kampus?” tanya Yuma ke Yanu sambil senyum.
“Eh enggak-enggak. Mending Diyah aja yang
sama Yanu, kamu tetep sama aku aja, Yuma.” Delia menolak karena segan
kepada Yanu. Takut jika itu dikira permintaan yang diatur sebelumnya.
“Kan aku belum kenal deket sama Yanu. Dia kan
temen SMAmu jadi kamu aja, Del. Udah sana.” Diyah masih ngotot dan menarik
kontak sepeda motor milik Delia.
“Iya wes ayo. Lama banget. Mumpung aku baik
hati, nih.” Ucap Yanu kesal menunggu perdebatan.
Duduklah ia di jok belakang sepeda motor warna putih tulang itu. Ditatapnya punggung yang ada di depannya. Ini mimpi, bukan? Tanyanya dalam hati. Kemustahilan terjadi pada hari itu.
Ada yang meletup di dasar hatinya, mengeluarkan lahar panas yang Delia sendiri kebingungan untuk dimuarakan ke mana. Berbincanglah ia, mengajak Yanu bercengkerama dengan sesekali tertawa. Ia sudah tidak lagi mampu menggambarkan letupan hatinya. Jelas, itu pasti akan membuat Yanu sangat tidak nyaman.
“Kepada orang yang beberapa jam lalu berada
tepat lima sentimeter di hadapku. Terimakasih untuk hari ini. Sungguh, aku
tidak menyangka kamu akan datang tadi, padahal bukankah kamu tidak ingin
bertemu denganku lagi, bukankah bertemu denganku adalah salah satu cara menguak
masalalu yang sangat kamu benci, bukankah itu semua, Yan? Juga maaf. Mungkin
niatmu telah berubah. Mungkin kamu ingin menjalin pertemanan agar tidak ada
kesan permusuhan di antara kita. Namun, aku masih sama seperti beberapa tahun
lalu. Masih menganggapmu masalaluku yang paling lalu, dan masa indahku yang
paling indah. Juga penyesalan yang paling sesal tentunya. Mungkin bukan kamu
yang tidak ingin menemuiku, tetapi aku yang terlalu menggunakan perasaan saat
bertemu denganmu, itu yang enggan kau temui, ya? Maaf sekali lagi, beribu maaf.
Sekali lagi terimakasih telah membuka jalan untuk kita berteman lagi. Aku
senang bertemu denganmu lagi. Meski belum sempat kuabadikan wajahmu saat
dihadapku tadi.”
Tulis
Delia pada catatan pribadinya di malam hari. Dengan tidak sadar ia meneteskan
airmata dan membuatnya sesengukan. Inilah surprise
yang menjadi firasatnya tadi pagi, kemudian nyata terjadi. Meskipun pemerannya berganti, melebihi dari yang ia harapkan.