Mengenai Saya

Foto saya
call me July /.\ Kind Autist. Overordinary girl in this extraordinary world :)

Selasa, 15 November 2016

Hari Di Mana Kamu Tidak Datang


Jumat, 14 Oktober 2016

Kala itu matahari menyengat, udara berhembus hangat.
Dengan cucur keringat pada dahi, segelas teh susu di tangan kiri, tangan lainnya memencet-mencet layar telepon genggam, aku menunggumu di halte kesukaanku. Terlalu dini untuk menunggumu datang memang, aku hanya menunggumu memberi kabar kepastian pertemuan.

Belum ada notifikasi. Meskipun banyak notifikasi masuk di telefon genggamku, jika tidak ada darimu, aku menganggapnya tidak ada notifikasi sama sekali.

Dua hari yang lalu kamu mengajakku bertemu, bukan? Bertemu untuk sekedar memberiku makanan hasil masakmu pertama kalinya. Untuk sekedar kamu tau, dua hari lalu aku berbahagia, dan ingin hari ini cepat datang.

Detik kian cepat, rotasi jarum jam semakin berantakan. Kamu tak lekas datang. Kumaklumi mungkin kamu masih memenuhi kewajiban seorang lelaki. Sungging senyum masih bisa ada di raut wajahku untuk saat ini.

Kakiku kesemutan. Teh susuku hanya tinggal satu kali sedotan. Daya telefon genggamku menuju titik penghabisan. Kamu, belum juga ada kabar.

kamu di mana?

Tiba-tiba telefon genggamku berdering tanda notifikasi darimu masuk. Kubalas dengan irama biasa saja. Menghindari kesan berlebihan terhdapmu. Dan pada akhirnya kamu....

Berkata “hari Selasa aja ya. Aku masih sibuk ini.

Sungging senyum masih bisa ada di raut wajahku.Aku masih berbahagia seperti dua hari yang lalu. Aku juga masih menunggu hari selasa untuk cepat datang. Aku pulang, meninggalkan atap halte yang sedang tersenyum padaku kasihan.

Selasa, 18 Oktober 2016

Halte bukan lagi menjadi pilihanku. Aku terlalu malu pada atap yang tersenyum penuh kasihan kepadaku empat hari yang lalu.

Di sanalah aku, duduk di antara rak buku usang. Membaca roman picisan dari negeri barat yang bertajuk “S.H.M.I.L.Y” sambil menunggu telefon genggamku bergetar karenamu. Ah, kau pasti belum bangun.

Bab demi bab kuarungi, hingga halaman tengah kutemui. Telefonku berdering, tanpa delay satu detik pun, aku bergegas membuka, membaca, dan membalasnya. Sampai pada akhirnya aku tersadar bahwa pada hari Selasa yang kamu sebutkan, kamu melupakan janjimu Jumat silam. Sungging senyumku perlahan pudar tanpa sadar.

Gontai jalanku mengingat kamu tak jadi datang. Parahnya, aku ingin kembali mengulang hari Jumat untuk menunggu hari Selasa dengan keadaan hati yang biasa saja. Hati yang masih penuh harap jika masih ada hari Selasa untuk kita bersua. 

Kini, hati telah terlanjur porakporanda. Bukan salahmu memang, ini hanya salahku yang terlalu memimpikan berlebihan tentang bagaimana keadaan jika kita bertemu. Apakah kamu akan menyambutku dengan senyum sumringah seperti tawa renyah yang selalu kamu suarakan ketika aku dan kamu berbicara melalui telefon? Apakah aku dan kamu akan tertawa terbahak saat menceritakan hal lucu? Ah aku ingin tau bagaimana wajahmu ketika tertawa, pasti lucu sekali. Aku ingin tau bagaimana reaksimu jika tertawa denganku yang mempunyai tangan jahil untuk mencubit dan memukulmu pelan. Dan yang paling ingin aku tahu adalah apakah ada momen canggung ketika aku dan kamu saling menatap. Ya, aku hanya ingin tahu tentang itu.

Hatiku telah terlanjur porakporanda. Bukan salahmu memang, ini hanya salahku yang terlalu sering berpikir dan menyimpulkan sendiri. Apakah aku tidak terlalu menarik untukmu sehingga kamu tidak menyempatkan sedikit waktu untuk menemuiku? Ah aku paling tahu bagaimana kaummu selalu melihat secara fisik, dan aku adalah kaum penganut tertarik kepada manusia lawan jenis yang membuat diriku nyaman. Dan aku menyimpulkan sendiri, bahwa nyaman saja tidak cukup untuk menjadi bagian terpenting dalam hidupmu. Aku salah. Aku malu. Aku ingin selesai. Tapi aku tidak bisa.

Minggu, 30 Oktober 2016

Firasat dan Nyata

Hari ini rasanya pengen disurprisein, deh

Kalimat itu terbersit dalam benak Delia sebangun tidur. Dengan memainkan handphone-nya, Delia terus memikirkan kalimat tadi. Dilihatnya obrolan terakhir via aplikasi obrolan yang menggantung tanpa ada kalimat penutup. Pandangan Delia terpusat pada satu nama. Ambo.

Apakah Ambo menghilang kemarin dan datang hari ini untuk memberiku surprise?

Pikiran Delia semakin jauh. Namun, semua itu bukan tanpa maksud. Mungkin itu luapan perasaannya yang telah menunggu tertepatinya janji Ambo yang diberikan kepadanya. Janji yang ternyata ditunda, dan kemudian Ambo menghilang. Janji tentang pertemuan dengannya, memberikan Delia makanan yang berhasil dimasaknya untuk pertama kali. Sudah jelas jika Delia akan menunggu, tapi bukan masakannya yang benar benar ditunggu, melainkan pertemuannya.

Ah, semoga hari Senin ini Tuhan berpihak kepadaku.

Dengan mengucapkan kalimat tersebut dalam hati, Delia memulai harinya dengan mandi dan berdandan cantik. Berharap kalimat tadi akan benar-benar terjadi.

***

Kuliah Delia selesai lebih cepat karena UTS. Delia terus memantau gerak-gerik teman-temannya tapi tidak menunjukkan tanda apapun. Tidak ada yang tercurigai oleh Delia, mereka sedang duduk-duduk di pelataran gedung kuliah seperti biasanya.

Rek, ke Jang-Jang, yuk?” Tiar memecah keheningan teman-temannya yang sedang memulihkan pikiran setelah pusing dengan soal ujian.

Masih jam 12. Ti” timpal Yuma dengan melirik Tiar.

gak papa, kan di sana pasti antri jadi kita datang lebih awal aja.” Rayu Tiar kepada teman-temannya.

“Baiklah, kalau gitu. sekarang kita berangkat aja.” Ajak Delia bersemangat. Masih menyimpan angan tadi pagi dan berharap segera terjadi.

“Eh, tapi. Mas Wahanaku ikut yak?” pinta Tiar dengan senyum-senyum yang dianggap teman-temannya menjijikkan.

Hmm, ya terserah. Yang penting keluar aja yuk kita.” Ucap Diyah setengah malas.

Yaudah kita boncengan aja, Diyah, sama aku aja, yuk!” kata Vrila memberi saran.

Oke. Jadi aku sama Yuma. Dan Tiar sama pacarnya.” Delia mengamini saran Vrilia.

Ya berarti aku hubungin ya pacarku?” tanya Tiar genit.

Iyaaaaaa.....” jawab teman-teman lainnya setengah kompak karena muak dengan semua pertanyaan Tiar yang seringnya gak perlu ditanyakan.

Hening.

Eh, Del!” sentak Tiar mengagetkan semua temannya.

Apa?” jawab Delia malas, bersiap menyemprot teman terbaiknya ini jika pertanyaannya gak penting lagi.

Si Yanu mau ikut mas Wahanaku main.

Jleb.

Suara hati Delia saat itu.

Bilang aja kalau aku ikut juga, dia juga pasti gak mau kalau main ada aku.” Jawab Delia panik.

Ya, Yanu adalah bagian dari masalalu Delia yang paling lalu, bagian dari masa indah yang paling indah. Delia sangat tau bagaimana Yanu sudah tidak nyaman dengan keberadaan Delia di dunia. Bukan berlebihan, menurut Delia, Yanu tidak akan mungkin ikut main jika ada Delia di sekitarnya.

Cepet bilang sama Mas Wahana biar bilang kalau aku ikut biar dia gak kecewa kalau tiba-tiba dateng tapi ada aku.” Tandas Delia semakin panik.

Emang kenapa sih, Del? Kok kamu panik banget?” tanya Diyah dan Yuma bersamaan.

Ya, aku takutnya dia udah jauh-jauh dateng pengen main, eh malah ketemu aku yang sudah pasti bikin dia badmood.” Jawab Delia masih panik, harap-harap cemas.

Ya menurutku dia gak bakal badmood sih kalau ketemu kamu, asal kamu gak bikin dia gak nyaman aja, Del.” Pendapat Yuma sambil senyum-senyum.

Nah, dan bukan tidak mungkin kalau aku ketemu dia terus aku salting. Itu yang bikin dia gak nyaman. Eh, kamu udah bilang ke Mas Wahana kan kalau aku ikut?” Delia sangat panik melihat ke Tiar yang sedang serius melihati handphonenya.

“Udah, aku udah bilang sama dia. Bentar lagi dia sampe sini dan kita langsung ‘cuss’ yaaak.” Jawab Tiar santai meskipun ia melihat kawannya panik.

Hmmm.. Ya sudah. Bentar lagi kita berangkat, dan semoga dia gak ikut ya?” ucap Delia yang paniknya sudah mulai turun dan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.

Tuh ada Mas Wahana.” Vrila sedang menunjuk jalan raya depan gedung kuliah.

Di sanalah ia. Mas Wahana, pujaan hati Tiar yang selalu setia mengantar jemput setiap hari.

Akhirnya Delia dan tiga temannya, ditambah satu pasangan sejoli berangkat ke Jang-Jang yang letaknya tidak jauh dari kampus mereka.

Di sinilah mereka, di depan tempat makan warna hijau yang sedang sepi tak berpenghuni. Tidak ada tanda-tanda buka padahal jam satu sudah tinggal beberapa menit lagi.

Eh, Ti! Kok sepi? Gak tutup, kan?” Tanya Yuma menyelidik.

Gak tau. Tapi aku kemarin ke sini jam segini udah lumayan rame yang antri.” Jawab Tiar dengan nada dan intonasi polos.

Coba buka IGnya, Ti.” Ucap Delia memberi saran.

Aku aja deh yang buka.” Vrila sedang menggenggam handphonenya mengajukan diri.

hmmm Tiar, pantes aja sepi ternyata bukanya selasa-minggu aja.” Diyah teriak kesal setelah mengetahui hasil mengintip handphone di depannya.

Hehehe. Maaf, kan aku gak tahu.” Jawab Tiar sambil tertawa polos.

Jadi, kita kemana?” tanya Vrila sambil memasukkan handphonenya ke saku celana sebelah kiri.

Aku pengennya yang ayam-ayam gitu, tapi bukan ‘nelongso’ kok. Bosen.” Jawab Yuma yang memang seringnya ngajak ke “nelongso”, tempat makan yang menu utamanya ayam dan pedas.

Gimana kalau ke ‘Moumow’ aja?” Ajak Delia sambil memberi solusi.

Emang di sana menunya apa aja?” Tanya Diyah.

Seblak, hehe. Sama ada chicken wings yang dibumbuin gitu. Gak bedalah sama ‘Jang-Jang’. Bedanya kalau di ‘Moumow’ itu diskon 50% buat pelajar.” Jawab Delia panjang lebar.

Ya udah deh kita ke sana aja.” Jawab Mas Wahana yang sepertinya sudah gerah ngemper di depan kios panas-panas.

Yaudah lah kita kuy!” Jawab Tiar bahagia.

Duduklah mereka di sana. Tiga orang di sebelah utara dan tiga orang lainnya di sebelah selatan, mereka berhadapan. Dipilihlah menu makanan yang ada, dengan tidak melupakan kodrat kewanitaannya yang selalu cerewet dan ribet, membuat ramai sebuah tempat yang awalnya sepi.

Seblak, chicken wings, kentang goreng, dan berbagai macam frape yang menjadi kesukaan masing-masing sudah tersaji di antara mereka. Beringas mereka ingin segera melahap dan memenuhi perut mereka yang sedari pagi dibiarkan kosong.

Menengoklah Delia ke arah tempat parkir, matanya tertuju pada sepeda motor putih tulang yang baru saja mendarat. Dilihatnya ada seorang pengendara berbadan tinggi dan besar di atas motor itu. Seperti tidak asing dengan bentuk badannya, Delia terpaku penasaran.

Itu Yanu, Del.” Wahana memberi notifikasi. Delia mengangguk-angguk reflek.

Ia sedang membuka helm dan meletakkannya di spion sebelah kanan. Melihat kearah dalam dengan senyum yang enggan. Melihat mereka yang sedang melahap makanan dengan suara gaduh yang terdengar tidak jelas. Masuklah ia ke dalam sana, dan bergabung dengan mereka.

Haloooo....” sapanya kepada mereka yang sedang makan. Dijulurkan tangannya tanda mengajak salaman. Satu persatu ia salami kecuali Delia. Yang sedang mengambil menu dan kertas secara sengaja untuk menghindari salah tingkah.

Delia kembali ke tempat duduknya setelah mampu mengendalikan kesalahan tingkahnya. Belum lama Ia duduk, hatinya masih meletup-letup tak karuan. Diajaklah Ia berbicara;

Sehat, Del?” Tanya Yanu sedikit tersenyum.

Se..” belum lengkap Delia menjawab sudah ditimpali dengan,

Sehatlah! Gendut gitu, kok!” Tertawalah Yanu terbahak-bahak, sepertinya merasa menang.

Makasih!” Bentak Delia setengah kesal dan tangannya reflek memukul lengan Yanu, tidak keras pastinya.

Bercengkeramalah mereka di sana. Dibuatnya tertawa mereka berenam atas tingkah dan kalimat Yanu yang menggelitik. Uno Stacko menjadi pilihan mereka di saat makanan sudah habis dan masih belum ingin beranjak dari tempat.

Diyah adalah orang pertama yang merobohkan susunannya dan terpaksa harus siap dicoret wajahnya dengan lipstick warna merah yang sangat muda. Dia memberontak dengan berteriak dengan suaranya yang cempreng. Lucu sekali. Dibantulah Diyah unruk menyusun lagi untuk permainan selanjutnya.

Dengan berteriak dan gugup, mereka bermain lagi. Yanu adalah orang kedua yang dicoret wajahnya dengan lipstick warna merah nyala. Delia adalah orang yang memaksa mencoret wajah Yanu dengan senyum kemenangan. Disusunlah lagi susunan itu dengan dibantu Delia.

Gak usah dibantuin, nanti dikira so sweet.” Bibir Yanu ringan sekali terbuka mengatakan, tertawalah ia, dan juga mereka kecuali Delia.

Tadi Diyah juga kubantuin keleeeuusss.” Delia membela diri.

Wahana dan Vrila adalah orang ketiga dan keempat yang merobohkan susunan sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk pulang sebab arah jam sudah 105’  menghadap ke kanan.

Eh Diyah, aku gak bisa nganterin kamu soalnya aku ada perlu ini.” Ajak Vrilla berbicara kepada Diyah.

Lho, lah terus gimana pulangnya Diyah?” kata Yuma menyela pembicaraan mereka berdua.

Gini aja. Gimana kalau aku sama Yuma naik motornya Delia, Delia sama Yanu aja.” Kata Diyah memberi solusi.

Gapapa kan ya, Yan? Kamu mau kan nganterin Delia ke kampus?” tanya Yuma ke Yanu sambil senyum.

Eh enggak-enggak. Mending Diyah aja yang sama Yanu, kamu tetep sama aku aja, Yuma.” Delia menolak karena segan kepada Yanu. Takut jika itu dikira permintaan yang diatur sebelumnya.

Kan aku belum kenal deket sama Yanu. Dia kan temen SMAmu jadi kamu aja, Del. Udah sana.” Diyah masih ngotot dan menarik kontak sepeda motor milik Delia.

Iya wes ayo. Lama banget. Mumpung aku baik hati, nih.” Ucap Yanu kesal menunggu perdebatan.

Duduklah ia di jok belakang sepeda motor warna putih tulang itu. Ditatapnya punggung yang ada di depannya. Ini mimpi, bukan? Tanyanya dalam hati. Kemustahilan terjadi pada hari itu.

Ada yang meletup di dasar hatinya, mengeluarkan lahar panas yang Delia sendiri kebingungan untuk dimuarakan ke mana. Berbincanglah ia, mengajak Yanu bercengkerama dengan sesekali tertawa. Ia sudah tidak lagi mampu menggambarkan letupan hatinya. Jelas, itu pasti akan membuat Yanu sangat tidak nyaman.

Kepada orang yang beberapa jam lalu berada tepat lima sentimeter di hadapku. Terimakasih untuk hari ini. Sungguh, aku tidak menyangka kamu akan datang tadi, padahal bukankah kamu tidak ingin bertemu denganku lagi, bukankah bertemu denganku adalah salah satu cara menguak masalalu yang sangat kamu benci, bukankah itu semua, Yan? Juga maaf. Mungkin niatmu telah berubah. Mungkin kamu ingin menjalin pertemanan agar tidak ada kesan permusuhan di antara kita. Namun, aku masih sama seperti beberapa tahun lalu. Masih menganggapmu masalaluku yang paling lalu, dan masa indahku yang paling indah. Juga penyesalan yang paling sesal tentunya. Mungkin bukan kamu yang tidak ingin menemuiku, tetapi aku yang terlalu menggunakan perasaan saat bertemu denganmu, itu yang enggan kau temui, ya? Maaf sekali lagi, beribu maaf. Sekali lagi terimakasih telah membuka jalan untuk kita berteman lagi. Aku senang bertemu denganmu lagi. Meski belum sempat kuabadikan wajahmu saat dihadapku tadi.

Tulis Delia pada catatan pribadinya di malam hari. Dengan tidak sadar ia meneteskan airmata dan membuatnya sesengukan. Inilah surprise yang menjadi firasatnya tadi pagi, kemudian nyata terjadi. Meskipun pemerannya berganti, melebihi dari yang ia harapkan.

Minggu, 31 Juli 2016

Dalam Sebuah Penantian

“lho, kamu Uli, kan? Mau kondangan bareng anak smp juga?” kata seorang pria di sebelah Uli yang sedang memakirkan motornya.

“eh iya, tadi aku udah janjian sama Remy kak. Bentar, aku inget sih wajahmu wajah-wajah anak smpku, tapi nama kamu siapa? Hehe aku lupa kak.” Tandas Uli sambil nyengir.

“hmmm sok terkenal deh kamu. Sini udah hafal nama, situ sok-sokan lupa namaku. Hmmm.” Gumam pria itu sambil berjalan mendahului Uli.

Uli berlari kecil menuju pria itu, “eh beneran kak. Aku ingatnya kamu dulu anak kelas sebelah kan ya? Temen deketnya Remy?”

“iya....” jawabnya sambil berjalan santai tapi tetap mendahului.

“eh kak, tungguuu..... kenalan lagi deh kak mendingan” kata Uli sambil menyodorkan tangan.

“Uli Ania, anak terkenal se SMP Tujuhbelas Agustus” Uli mengawali perkenalan dengan gaya centil sok asik.

“Aku Nae..” tangannya balik menyalami dan tersenyum.

Uli dan Nae saling senyum dan berjalan beriringan ke tempat yang lebih dekat dengan janur kuning.

“NAE!!!!” teriak pria tinggi dari bawah janur kuning. Uli malah menoleh ke Nae, bukan ke sumber suara.

Nae balik menoleh ke Uli dan bertanya “itu Remy, kakak-kakakanmu waktu smp, kan?”

“hehehe..” Uli tersenyum.

Di sana Remy bersama teman alumni SMP Tujuhbelas Agustus. Nae dan Remy berbincang melepas rindu. Dan Uli, tersenyum kepada semua temannya, meski di dalam senyumnya masih terlukis keresahan yang tidak terperi. Keresahan yang tidak dapat ditebak menggunakan jari.

“kondangan mulu ya kita, kapan kita dikondangin?” Remy memulai pembicaraan setelah mendapat tempat duduk. Sikunya memaksa menyenggol Nae.

syarat e nikah niku mung kale” jawab Nae ke Remy dengan wajah serius.

“Apa aja emang?” Uli menyela percakapan mereka.

KALE SINTEN?” Jawab Nae sambil berteriak dan disambut tawa terbahak-bahak semua teman.

Uli hanya mampu tersenyum. Ia mungkin lupa caranya tertawa. Tersenyum menurutnya sudah bahagia di level paling tinggi untuk saat seperti ini.

Di tangan kanan Uli menggenggam besi kesayangannya, dikunci, dibuka kembali, pencet whatsapp, liat tulisan ‘Last Seen Today 19:51’ dan saat itu memang pukul 19:51, tapi pesan kepada seseorangnya masih centang dua, belum centang biru. Dilakukannya terus menerus, lima menit sekali. Kecewa setiap lima menit sekali terlihat di raut mukanya.

Sampai ada seorang berbaju beskap menghampiri, menyilakan untuk mengambil makanan di area prasmanan.

“Yuk, dek.” Ajak Remy kepada Uli yang memang sudah dianggap seperti adik kandungnya sendiri.

“hehe. Iya. Yuk!” balas Uli dengan tersenyum terpaksa.

Sekembalinya mereka dari mengambil makanan, Uli masih tetap sibuk dengan besi elektroniknya, Uli masih sibuk menunggu whatsapp yang terabaikan dan tak terbalas, meski kadang sesekali memakan makanannya sesendok demi sesendok.

“makan lauk hape, mbak?” celetuk Nae bercanda.

“hehe, enggak kok. Nunggu kabar temen karena mau latihan.” Jawab Uli berbohong.

“eh, eh, emang mau latihan apa?” Nae bicara dengan mulut penuh dengan nasi.

“mending kamu telen dulu, Nae. Tersedak ntar ndak lucu, lho” tindas Remy di sebelah Nae.

“Remy gak peka. Nae pengen jadi adik iparmu kayaknya.” Qahsi yang daritadi hanya tertawa akhirnya mengeluarkan suara.

he gak he, ya kan temen lama jarang ketemu jadi udah gak tahu kesibukannya apa.” Nae membela diri.

“halah, Nae. Daritadi tiap ngomong sama kita dan ngomong sama Uli ekspresimu beda tau!” Zul berpendapat setelah main mata dengan Qahsi dan Remy.

“ya sudah. Habis aku, habis kak. Ampun. Diam aja lah kalau gitu.” Nae pasrah dengan senyum jengkel.

Zul mengajak teman-temannya pamit ke pengantin setelah dirasa amunisi dalam perut terpenuhi. 

Saling bersalaman dengan pengantin dengan memberi ucapan selamat, selamat telah lolos dari 
ketakutan menjadi parasit lajang.

“Foto dulu yuk, biar nanti bisa dipost di IG.” Ajak Qahsi kepada semua temannya. Qahsi memang mempunyai keinginan eksis yang sangat tinggi.

“Iya, foto dulu. Biar koleksi fotoku nanti lengkap.” Timpal Maria, pengantin wanita yang memang alumni SMP Tujuhbelas Agustus juga.

Selain Uli, Remy, Nae, Qahsi, dan Zul, masih ada teman-teman alumni lain seperti Uni—bukan kembaran Uli--, Lin, dan masih banyak lagi yang ingin foto di pelaminan.

“dijadiin 2 kloter saja mbak-mbak mas-mas.” Ucap seorang pramufoto yang risih melihat pelaminan menjadi penuh.

“yaudah deh, aku gak ikut aja.” Uli turun dari pelaminan.

“nanti sama aku aja ya, Uli.” Nae tiba-tiba mengikuti langkah Uli dari belakang. Menjajari Uli yang sedang berdiri di sebelah pramufoto. Melihati teman-temannya yang sedang berpose.

“Modus! Modus!” teriak teman-temannya membuat rusuh.

Di parkiran, Nae mengeluarkan motor Uli, membayar jasa parkirnya, meletakkan motor Uli di depan pemiliknya.

“ini motormu. Hati-hati ya pulangnya. Kalau mau latihan, yang semangat latihannya.” Nae tersenyum simpul sambil memandangi wajah Uli.

“terimakasih, Nae. Kamu juga hati-hati pulangnya.” Balas Uli seraya menarik gas motornya. Meninggalkan Nae dan teman lainnya di belakang dengan hati yang berkecamuk tajam.

Uli memang benar-benar akan latihan. Latihan teater yang sangat ia minati. Latihan teater yang sangat ia nikmati.

Telinga-telinga disumbat harta dan martabat. Mulut-mulut dibungkam iming-iming dan ancaman. Orang-orang penting yang berpesta setiap hari. Membiarkan leher mereka dijerat dasi. Agar hanya bisa mengangguk dengan tegas, berpose dengan gagah di depan kamera otomatis yang gagu” bait puisi karya Gus Mus yang memang akan diteatrikalisasi oleh Uli baru saja dibaca olehnnya.

“Tante Uli, ada telfon.” Teriak salah satu teman teaternya yang memegang handphone Uli. Uli berlari menghampirinya, menghabiskan rasa ingin tahunya tentang seorang yang menelepon. Uli berharap ia adalah seseorang yang sangat ia tunggu membalas chatnya via whatsapp.

Ditatapnya layar yang tidak begitu lebar bila dibandingkan dengan yang sedang ngetrend di kalangan sekarang. ‘Nomor asing’ terpampang di sana. Cepat-cepat ia angkat, siapa tahu seseorang yang ia tunggu itu memakai nomor temannya.

Yeoboseyo” telefon itu diangkat Uli dengan usaha keras diriang-riangkan. Kebiasaan Uli saat mengangkat telefon seseorang itu.

“halo” terdengar suara, tetapi bukan suara seseorang yang sangat Uli kenal. Suaranya tidak asing, hanya saja Uli sedikit lupa.

“ya, halo, siapa?” tanya Uli penasaran. Masih berharap ia salah dengar. Masih berharap itu suara seseorang yang ia tunggu.

“belum 2 jam pisah, udah lupa aja suaranya.” Balas suara yang ada di seberang.

“oh, kamu Nae. Ajaib kamu. Bisa dapet nomerku. Ah pasti dari Remy, ya?” cerocos Uli dengan usaha masih pura-pura riang.

“kamu pasti sudah tahu, alumni SMP siapa lagi yang masih nyambung sama kamu selain Remy? Kamu sembunyi mulu.” Suara Nae halus merasuk telinga Uli, Uli tersenyum secara tidak sadar.

“Enggak, aku gak sembunyi kok. Ya emang aku gak tahu aja caranya bagi-bagiin nomerku ke lainnya, aku gak punya nomer kalian sih.” Jawab Uli membela diri.

“hmmm ngeles aja kamu, Uli. Iya deh percaya aja deh daripada masalahnya makin panjang.” Sambil tertawa, Nae memang senang bercanda.

“lho dipanjangin juga gapapa kok, dilebarin juga boleh. Nanti tinggal dicari luasnya aja.” Uli mencoba mengimbangi bercandaan Nae.

“udah-udah, ah. Kamu masih latihan?” timpal Nae dengan pertanyaan,

“iya, masih. Baru mulai malah. Hehehe.” Jawab Uli seadanya.

“udah jam sepuluh ini, kok kamu baru mulai latihan? Terus pulangnya jam berapa kalau sekarang baru mulai?”

“gak tahu, aku cuma ngikutin aja sih, kan aku cuma anggota.”

“memangnya gak bisa ditunda besok ya?”

“besok udah perform, kak. Masa iya sekarang gak latihan? Ini ya dianggap gladi bersih gitu lah.”

“yaudah, lanjutin gih latiannya. Nanti kalau udah selesai cepet pulang, ya? Atau mending numpang nginep di kost temenmu aja.” Nae menasehati.

“iya, aku latihan dulu ya, ya mungkin nanti aku nginep di kost temen kok.”

“baguslah, kalau gitu kamu gak bikin aku khawatir. Hahaha.” Nae tertawa terbahak-bahak.

“apa sih, Nae?” pertanyaan Uli yang sedang malu-malu sangat retoris.

“gak kok, gapapa. Semangat ya latihannya.”

“iya, aku semangat kok.”

“Assalamualaikum...”

“Waalaikumsalam...” seraya telfon terputus bersamaan.

Jumat, 08 Januari 2016

Tentang Jas Hujan dan Jaket

            Di suatu sore yang sendu. Ditambah hujan yang berlebihan membuat teduh. Aku bergegas menjemput adikku.

       Hujan memaksaku membuka jok. Mengambil kresek yang dipaksa menjadi jas hujan. Kukenakan, kulihati pantulan tubuhku di kaca depan rumah. Kresek ini telah memaksaku memporakporandakan ingatan, ingatan yang telah aku susun rapi dan aku kubur dalam-dalam.

            
          Sebulan yang lalu, tanpa persiapan kita berangkat. Awan hitam menghalangi matahari, tapi semangat kita tak kalah pekat menggelayuti. Hanya berbekal dengan jas hujan seadanya kita menyusuri jalan, menuju tempat idaman. Kamu duduk di depanku, aku di belakangmu memeluk malu-malu. Bercerita apa saja, kadang rumit, kadang pula sederhana.

            Belum setengah perjalanan tertempuh, hujan sudah tak sadar diri mengaduh, memaksa kita untuk berteduh. Di depan sebuah toko, kamu membelikanku makanan hangat, untuk melawan rasa dingin yang terus menyengat. Sebenarnya tak perlu, karena sudah ada senyummu.

            Hujan sedikit reda, tawaranmu untuk kembali jalan kujawab terserah. Aku menyuruhmu memakai jaketku, agar hujan tak membasahi kaosmu, mungkin lebih tepatnya ragamu.

            Belum hangat kita duduk. Hujan pun kembali datang bagai banteng menyeruduk. Ah, tidak ada tempat berteduh, karena hanya sawah sepanjang kita tahu.

            Akhirnya ada sebuah warung gubuk. Penuh terisi manusia yang sedang menghindari hujan mengamuk. Kamu belikan aku minuman hangat, untuk melawan rasa dingin yang semakin menyengat. Sebenarnya tak perlu, karena sudah ada kamu di sampingku.

            Hujan tak kunjung reda, kamu minta untuk kembali pulang saja. Ah, aku tak ingin pulang begitu saja. Aku membaca surat al-fill akhirnya.

            Doaku diijabah. Hujan reda setelahnya. Tawaranmu untuk kembali jalan lagi kujawab terserah.

            “mendaki gunung lewati lembah sungai mengalir lembah ke samudera, bersama teman berpetualang”
           
            Lagu yang sering kita nyanyikan di perjalanan. Sambil melihati jalan yang semakin lama semakin menanjak, tiba-tiba turun mengerikan.

            Akhirnya kita sampai di gang tujuan kita. Dengan berbekal jawaban warga atas pertanyaan kita. Pertemuan dengan jalan setapak dimulai. Keahlian berkendaramu diuji seperti tanpa usai. Aku memilih turun dan berjalan kaki. Kau berat hati mengizinkan, lalu menyemangati.

            Seorang bapak melambaikan tangannya. Seakan memberi tahu ada tempat parkir di sana. Ku kira tempat idaman di depan mata. Kamu bilang mari kita menghampirinya.

            Belum lama aku sudah mulai terengah, nafas memburu membuatku ingin menyerah. Ah, aku benci kelelahan seperti ini. Namun, senyummu kembali menyemangati.

Jalanan semakin lama semakin menanjak menyusahkan, karena licin akibat air hujan. Aku tergelincir saat kaki tak dapat menahan. Kamu menolongku agar tetap bertahan. Lumpur di celanaku kamu bersihkan. Kita berjalan lagi, dengan tangan kananmu yang mengamit tanganku sebelah kiri.

            Gelap. Aku tak dapat melihat. Hanya suara pertanyaanmu masih terserap. Aku kelelahan lagi. Kamu kebingungan menanggapi. Aku tak ingin lagi melanjutkan ke sana. Ah, tidak. Kamu tidak boleh kecewa.

            Kita sudah di tempat idaman. Aku memilih duduk di bebatuan. Kamu meledekku karena kelelahan. Sungguh lelah itu hilang, keindahan tempat ini mengalihkan.

            Kecipak...kecipuk suara air yang dimainkan kaki kita. Perjalanan jauh hanya kita habiskan untuk bermain air bersama. Melihati pengunjung lain yang sedang asik melompati batu. Sambil mengambil foto untuk mengabadikan waktu.

            Setelah bermain air dengan puas. Kamu mengajakku bergegas. Sebelum tempat ini mengakibatkan kecanduan. Apalagi Matahari telah pulang ke peraduan.

            Aku sudah lebih siap berjalan panjang. Tapi dengan meminta tanganmu tak pernah terlepaskan. Aku sudah tidak kelelahan. Tiba-tiba bertemu juga dengan parkiran.

            Kamu duduk di depanku. Aku masih di belakangmu, memelukmu, meski sudah tidak malu-malu. Kita kembali melakukan perjalanan jauh.

            Hujan mengganggu lagi. Datang tanpa pernah membawa rasa kasih. Membasahi yang takut dengan percaya diri.

            Kamu berhenti dipinggir jalan seadanya. Membuka jok dan mengambil jas hujan selayaknya. Mengenakannya dengan tergesa-gesa.

            Mungkin hujan sudah mempunyai kasih. Tak perlu menunggu lama ia sudah berhenti. Kamu menepi. Melepaskan jas hujan, dan melanjutkannya lagi.

            Aku masih di belakangmu, mencoba membuat hangat tubuhmu dengan pelukan yang sudah tidak malu-malu hingga depan rumahku. Aku membawa ucapan terimakasih dan senyummu masuk rumahku.
***
            Jas Hujan yang sedang kukenakan ini juga pernah menempel di tubuhmu, kan? Tak jarang, aku memeluk jaketku yang juga pernah kamu kenakan meski telah dicuci berulang kali. Hanya dengan ini, aku merasa kita dekat kembali.

            Meski telah kukubur dalam-dalam, nyatanya kenangan ini masih lengkap dalam ingatanku. Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu sudah lupa? Ah, itu tidak masalah.


“It’s my job to remember, while you had chosen to forget”.- dr. Kalden Sakya