Di suatu sore yang sendu. Ditambah
hujan yang berlebihan membuat teduh. Aku bergegas menjemput adikku.
Hujan memaksaku membuka jok.
Mengambil kresek yang dipaksa menjadi
jas hujan. Kukenakan, kulihati pantulan tubuhku di kaca depan rumah. Kresek ini telah memaksaku
memporakporandakan ingatan, ingatan yang telah aku susun rapi dan aku kubur
dalam-dalam.
Sebulan yang lalu, tanpa persiapan
kita berangkat. Awan hitam menghalangi matahari, tapi semangat kita tak kalah
pekat menggelayuti. Hanya berbekal dengan jas hujan seadanya kita menyusuri
jalan, menuju tempat idaman. Kamu duduk di depanku, aku di belakangmu memeluk
malu-malu. Bercerita apa saja, kadang rumit, kadang pula sederhana.
Belum setengah perjalanan tertempuh,
hujan sudah tak sadar diri mengaduh, memaksa kita untuk berteduh. Di depan
sebuah toko, kamu membelikanku makanan hangat, untuk melawan rasa dingin yang
terus menyengat. Sebenarnya tak perlu, karena sudah ada senyummu.
Hujan sedikit reda, tawaranmu untuk
kembali jalan kujawab terserah. Aku menyuruhmu memakai jaketku, agar hujan tak
membasahi kaosmu, mungkin lebih tepatnya ragamu.
Belum hangat kita duduk. Hujan pun
kembali datang bagai banteng menyeruduk. Ah, tidak ada tempat berteduh, karena
hanya sawah sepanjang kita tahu.
Akhirnya ada sebuah warung gubuk.
Penuh terisi manusia yang sedang menghindari hujan mengamuk. Kamu belikan aku
minuman hangat, untuk melawan rasa dingin yang semakin menyengat. Sebenarnya
tak perlu, karena sudah ada kamu di sampingku.
Hujan tak kunjung reda, kamu minta
untuk kembali pulang saja. Ah, aku tak ingin pulang begitu saja. Aku membaca
surat al-fill akhirnya.
Doaku diijabah. Hujan reda
setelahnya. Tawaranmu untuk kembali jalan lagi kujawab terserah.
“mendaki
gunung lewati lembah sungai mengalir lembah ke samudera, bersama teman
berpetualang”
Lagu yang sering kita nyanyikan di
perjalanan. Sambil melihati jalan yang semakin lama semakin menanjak, tiba-tiba
turun mengerikan.
Akhirnya kita sampai di gang tujuan
kita. Dengan berbekal jawaban warga atas pertanyaan kita. Pertemuan dengan
jalan setapak dimulai. Keahlian berkendaramu diuji seperti tanpa usai. Aku memilih
turun dan berjalan kaki. Kau berat hati mengizinkan, lalu menyemangati.
Seorang bapak melambaikan tangannya.
Seakan memberi tahu ada tempat parkir di sana. Ku kira tempat idaman di depan
mata. Kamu bilang mari kita menghampirinya.
Belum lama aku sudah mulai terengah,
nafas memburu membuatku ingin menyerah. Ah, aku benci kelelahan seperti ini. Namun,
senyummu kembali menyemangati.
Jalanan
semakin lama semakin menanjak menyusahkan, karena licin akibat air hujan. Aku tergelincir
saat kaki tak dapat menahan. Kamu menolongku agar tetap bertahan. Lumpur di
celanaku kamu bersihkan. Kita berjalan lagi, dengan tangan kananmu yang
mengamit tanganku sebelah kiri.
Gelap. Aku tak dapat melihat. Hanya suara
pertanyaanmu masih terserap. Aku kelelahan lagi. Kamu kebingungan menanggapi. Aku
tak ingin lagi melanjutkan ke sana. Ah, tidak. Kamu tidak boleh kecewa.
Kita sudah di tempat idaman. Aku memilih
duduk di bebatuan. Kamu meledekku karena kelelahan. Sungguh lelah itu hilang, keindahan
tempat ini mengalihkan.
Kecipak...kecipuk
suara air yang dimainkan kaki kita. Perjalanan jauh hanya kita habiskan untuk bermain
air bersama. Melihati pengunjung lain yang sedang asik melompati batu. Sambil mengambil
foto untuk mengabadikan waktu.
Setelah bermain air dengan puas. Kamu
mengajakku bergegas. Sebelum tempat ini mengakibatkan kecanduan. Apalagi Matahari
telah pulang ke peraduan.
Aku sudah lebih siap berjalan
panjang. Tapi dengan meminta tanganmu tak pernah terlepaskan. Aku sudah tidak
kelelahan. Tiba-tiba bertemu juga dengan parkiran.
Kamu duduk di depanku. Aku masih di
belakangmu, memelukmu, meski sudah tidak malu-malu. Kita kembali melakukan
perjalanan jauh.
Hujan mengganggu lagi. Datang tanpa
pernah membawa rasa kasih. Membasahi yang takut dengan percaya diri.
Kamu berhenti dipinggir jalan
seadanya. Membuka jok dan mengambil jas hujan selayaknya. Mengenakannya dengan
tergesa-gesa.
Mungkin hujan sudah mempunyai kasih.
Tak perlu menunggu lama ia sudah berhenti. Kamu menepi. Melepaskan jas hujan,
dan melanjutkannya lagi.
Aku masih di belakangmu, mencoba
membuat hangat tubuhmu dengan pelukan yang sudah tidak malu-malu hingga depan
rumahku. Aku membawa ucapan terimakasih dan senyummu masuk rumahku.
***
Jas Hujan yang sedang kukenakan ini
juga pernah menempel di tubuhmu, kan? Tak jarang, aku memeluk jaketku yang juga
pernah kamu kenakan meski telah dicuci berulang kali. Hanya dengan ini, aku
merasa kita dekat kembali.
Meski telah kukubur dalam-dalam,
nyatanya kenangan ini masih lengkap dalam ingatanku. Bagaimana dengan kamu? Apakah
kamu sudah lupa? Ah, itu tidak masalah.
“It’s my job to remember, while you
had chosen to forget”.- dr. Kalden Sakya