Mengenai Saya

Foto saya
call me July /.\ Kind Autist. Overordinary girl in this extraordinary world :)

Jumat, 08 Januari 2016

Tentang Jas Hujan dan Jaket

            Di suatu sore yang sendu. Ditambah hujan yang berlebihan membuat teduh. Aku bergegas menjemput adikku.

       Hujan memaksaku membuka jok. Mengambil kresek yang dipaksa menjadi jas hujan. Kukenakan, kulihati pantulan tubuhku di kaca depan rumah. Kresek ini telah memaksaku memporakporandakan ingatan, ingatan yang telah aku susun rapi dan aku kubur dalam-dalam.

            
          Sebulan yang lalu, tanpa persiapan kita berangkat. Awan hitam menghalangi matahari, tapi semangat kita tak kalah pekat menggelayuti. Hanya berbekal dengan jas hujan seadanya kita menyusuri jalan, menuju tempat idaman. Kamu duduk di depanku, aku di belakangmu memeluk malu-malu. Bercerita apa saja, kadang rumit, kadang pula sederhana.

            Belum setengah perjalanan tertempuh, hujan sudah tak sadar diri mengaduh, memaksa kita untuk berteduh. Di depan sebuah toko, kamu membelikanku makanan hangat, untuk melawan rasa dingin yang terus menyengat. Sebenarnya tak perlu, karena sudah ada senyummu.

            Hujan sedikit reda, tawaranmu untuk kembali jalan kujawab terserah. Aku menyuruhmu memakai jaketku, agar hujan tak membasahi kaosmu, mungkin lebih tepatnya ragamu.

            Belum hangat kita duduk. Hujan pun kembali datang bagai banteng menyeruduk. Ah, tidak ada tempat berteduh, karena hanya sawah sepanjang kita tahu.

            Akhirnya ada sebuah warung gubuk. Penuh terisi manusia yang sedang menghindari hujan mengamuk. Kamu belikan aku minuman hangat, untuk melawan rasa dingin yang semakin menyengat. Sebenarnya tak perlu, karena sudah ada kamu di sampingku.

            Hujan tak kunjung reda, kamu minta untuk kembali pulang saja. Ah, aku tak ingin pulang begitu saja. Aku membaca surat al-fill akhirnya.

            Doaku diijabah. Hujan reda setelahnya. Tawaranmu untuk kembali jalan lagi kujawab terserah.

            “mendaki gunung lewati lembah sungai mengalir lembah ke samudera, bersama teman berpetualang”
           
            Lagu yang sering kita nyanyikan di perjalanan. Sambil melihati jalan yang semakin lama semakin menanjak, tiba-tiba turun mengerikan.

            Akhirnya kita sampai di gang tujuan kita. Dengan berbekal jawaban warga atas pertanyaan kita. Pertemuan dengan jalan setapak dimulai. Keahlian berkendaramu diuji seperti tanpa usai. Aku memilih turun dan berjalan kaki. Kau berat hati mengizinkan, lalu menyemangati.

            Seorang bapak melambaikan tangannya. Seakan memberi tahu ada tempat parkir di sana. Ku kira tempat idaman di depan mata. Kamu bilang mari kita menghampirinya.

            Belum lama aku sudah mulai terengah, nafas memburu membuatku ingin menyerah. Ah, aku benci kelelahan seperti ini. Namun, senyummu kembali menyemangati.

Jalanan semakin lama semakin menanjak menyusahkan, karena licin akibat air hujan. Aku tergelincir saat kaki tak dapat menahan. Kamu menolongku agar tetap bertahan. Lumpur di celanaku kamu bersihkan. Kita berjalan lagi, dengan tangan kananmu yang mengamit tanganku sebelah kiri.

            Gelap. Aku tak dapat melihat. Hanya suara pertanyaanmu masih terserap. Aku kelelahan lagi. Kamu kebingungan menanggapi. Aku tak ingin lagi melanjutkan ke sana. Ah, tidak. Kamu tidak boleh kecewa.

            Kita sudah di tempat idaman. Aku memilih duduk di bebatuan. Kamu meledekku karena kelelahan. Sungguh lelah itu hilang, keindahan tempat ini mengalihkan.

            Kecipak...kecipuk suara air yang dimainkan kaki kita. Perjalanan jauh hanya kita habiskan untuk bermain air bersama. Melihati pengunjung lain yang sedang asik melompati batu. Sambil mengambil foto untuk mengabadikan waktu.

            Setelah bermain air dengan puas. Kamu mengajakku bergegas. Sebelum tempat ini mengakibatkan kecanduan. Apalagi Matahari telah pulang ke peraduan.

            Aku sudah lebih siap berjalan panjang. Tapi dengan meminta tanganmu tak pernah terlepaskan. Aku sudah tidak kelelahan. Tiba-tiba bertemu juga dengan parkiran.

            Kamu duduk di depanku. Aku masih di belakangmu, memelukmu, meski sudah tidak malu-malu. Kita kembali melakukan perjalanan jauh.

            Hujan mengganggu lagi. Datang tanpa pernah membawa rasa kasih. Membasahi yang takut dengan percaya diri.

            Kamu berhenti dipinggir jalan seadanya. Membuka jok dan mengambil jas hujan selayaknya. Mengenakannya dengan tergesa-gesa.

            Mungkin hujan sudah mempunyai kasih. Tak perlu menunggu lama ia sudah berhenti. Kamu menepi. Melepaskan jas hujan, dan melanjutkannya lagi.

            Aku masih di belakangmu, mencoba membuat hangat tubuhmu dengan pelukan yang sudah tidak malu-malu hingga depan rumahku. Aku membawa ucapan terimakasih dan senyummu masuk rumahku.
***
            Jas Hujan yang sedang kukenakan ini juga pernah menempel di tubuhmu, kan? Tak jarang, aku memeluk jaketku yang juga pernah kamu kenakan meski telah dicuci berulang kali. Hanya dengan ini, aku merasa kita dekat kembali.

            Meski telah kukubur dalam-dalam, nyatanya kenangan ini masih lengkap dalam ingatanku. Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu sudah lupa? Ah, itu tidak masalah.


“It’s my job to remember, while you had chosen to forget”.- dr. Kalden Sakya