“lho, kamu Uli,
kan? Mau kondangan bareng anak smp juga?” kata seorang pria di sebelah Uli yang
sedang memakirkan motornya.
“eh iya, tadi
aku udah janjian sama Remy kak. Bentar, aku inget sih wajahmu wajah-wajah anak
smpku, tapi nama kamu siapa? Hehe aku lupa kak.” Tandas Uli sambil nyengir.
“hmmm sok
terkenal deh kamu. Sini udah hafal nama, situ sok-sokan lupa namaku. Hmmm.”
Gumam pria itu sambil berjalan mendahului Uli.
Uli berlari
kecil menuju pria itu, “eh beneran kak. Aku ingatnya kamu dulu anak kelas sebelah
kan ya? Temen deketnya Remy?”
“iya....”
jawabnya sambil berjalan santai tapi tetap mendahului.
“eh kak,
tungguuu..... kenalan lagi deh kak mendingan” kata Uli sambil menyodorkan
tangan.
“Uli Ania, anak
terkenal se SMP Tujuhbelas Agustus” Uli mengawali perkenalan dengan gaya centil
sok asik.
“Aku Nae..”
tangannya balik menyalami dan tersenyum.
Uli dan Nae
saling senyum dan berjalan beriringan ke tempat yang lebih dekat dengan janur
kuning.
“NAE!!!!” teriak
pria tinggi dari bawah janur kuning. Uli malah menoleh ke Nae, bukan ke sumber
suara.
Nae balik
menoleh ke Uli dan bertanya “itu Remy, kakak-kakakanmu waktu smp, kan?”
“hehehe..” Uli
tersenyum.
Di sana Remy bersama
teman alumni SMP Tujuhbelas Agustus. Nae dan Remy berbincang melepas rindu. Dan
Uli, tersenyum kepada semua temannya, meski di dalam senyumnya masih terlukis
keresahan yang tidak terperi. Keresahan yang tidak dapat ditebak menggunakan
jari.
“kondangan mulu
ya kita, kapan kita dikondangin?” Remy memulai pembicaraan setelah mendapat
tempat duduk. Sikunya memaksa menyenggol Nae.
“syarat e nikah niku mung kale” jawab Nae
ke Remy dengan wajah serius.
“Apa aja emang?”
Uli menyela percakapan mereka.
“KALE SINTEN?” Jawab Nae sambil berteriak
dan disambut tawa terbahak-bahak semua teman.
Uli hanya mampu
tersenyum. Ia mungkin lupa caranya tertawa. Tersenyum menurutnya sudah bahagia
di level paling tinggi untuk saat seperti ini.
Di tangan kanan
Uli menggenggam besi kesayangannya, dikunci, dibuka kembali, pencet whatsapp, liat tulisan ‘Last Seen Today 19:51’ dan saat itu
memang pukul 19:51, tapi pesan kepada seseorangnya masih centang dua, belum
centang biru. Dilakukannya terus menerus, lima menit sekali. Kecewa setiap lima
menit sekali terlihat di raut mukanya.
Sampai ada
seorang berbaju beskap menghampiri, menyilakan untuk mengambil makanan di area
prasmanan.
“Yuk, dek.” Ajak
Remy kepada Uli yang memang sudah dianggap seperti adik kandungnya sendiri.
“hehe. Iya.
Yuk!” balas Uli dengan tersenyum terpaksa.
Sekembalinya
mereka dari mengambil makanan, Uli masih tetap sibuk dengan besi elektroniknya,
Uli masih sibuk menunggu whatsapp yang
terabaikan dan tak terbalas, meski kadang sesekali memakan makanannya sesendok
demi sesendok.
“makan lauk
hape, mbak?” celetuk Nae bercanda.
“hehe, enggak
kok. Nunggu kabar temen karena mau latihan.” Jawab Uli berbohong.
“eh, eh, emang
mau latihan apa?” Nae bicara dengan mulut penuh dengan nasi.
“mending kamu
telen dulu, Nae. Tersedak ntar ndak
lucu, lho” tindas Remy di sebelah Nae.
“Remy gak peka.
Nae pengen jadi adik iparmu kayaknya.” Qahsi yang daritadi hanya tertawa
akhirnya mengeluarkan suara.
“he gak he, ya kan temen lama jarang
ketemu jadi udah gak tahu kesibukannya apa.” Nae membela diri.
“halah, Nae.
Daritadi tiap ngomong sama kita dan ngomong sama Uli ekspresimu beda tau!” Zul
berpendapat setelah main mata dengan Qahsi dan Remy.
“ya sudah. Habis
aku, habis kak. Ampun. Diam aja lah kalau gitu.” Nae pasrah dengan senyum jengkel.
Zul mengajak
teman-temannya pamit ke pengantin setelah dirasa amunisi dalam perut terpenuhi.
Saling bersalaman dengan pengantin dengan memberi ucapan selamat, selamat telah
lolos dari
ketakutan menjadi parasit lajang.
“Foto dulu yuk,
biar nanti bisa dipost di IG.” Ajak Qahsi kepada semua temannya. Qahsi memang
mempunyai keinginan eksis yang sangat tinggi.
“Iya, foto dulu.
Biar koleksi fotoku nanti lengkap.” Timpal Maria, pengantin wanita yang memang
alumni SMP Tujuhbelas Agustus juga.
Selain Uli, Remy,
Nae, Qahsi, dan Zul, masih ada teman-teman alumni lain seperti Uni—bukan
kembaran Uli--, Lin, dan masih banyak lagi yang ingin foto di pelaminan.
“dijadiin 2
kloter saja mbak-mbak mas-mas.” Ucap seorang pramufoto yang risih melihat
pelaminan menjadi penuh.
“yaudah deh, aku
gak ikut aja.” Uli turun dari pelaminan.
“nanti sama aku
aja ya, Uli.” Nae tiba-tiba mengikuti langkah Uli dari belakang. Menjajari Uli
yang sedang berdiri di sebelah pramufoto. Melihati teman-temannya yang sedang
berpose.
“Modus! Modus!”
teriak teman-temannya membuat rusuh.
Di parkiran, Nae
mengeluarkan motor Uli, membayar jasa parkirnya, meletakkan motor Uli di depan
pemiliknya.
“ini motormu.
Hati-hati ya pulangnya. Kalau mau latihan, yang semangat latihannya.” Nae
tersenyum simpul sambil memandangi wajah Uli.
“terimakasih,
Nae. Kamu juga hati-hati pulangnya.” Balas Uli seraya menarik gas motornya.
Meninggalkan Nae dan teman lainnya di belakang dengan hati yang berkecamuk
tajam.
Uli memang
benar-benar akan latihan. Latihan teater yang sangat ia minati. Latihan teater
yang sangat ia nikmati.
“Telinga-telinga disumbat harta dan martabat.
Mulut-mulut dibungkam iming-iming dan ancaman. Orang-orang penting yang
berpesta setiap hari. Membiarkan leher mereka dijerat dasi. Agar hanya bisa mengangguk
dengan tegas, berpose dengan gagah di depan kamera otomatis yang gagu” bait
puisi karya Gus Mus yang memang akan diteatrikalisasi oleh Uli baru saja dibaca
olehnnya.
“Tante Uli, ada
telfon.” Teriak salah satu teman teaternya yang memegang handphone Uli. Uli berlari menghampirinya, menghabiskan rasa ingin
tahunya tentang seorang yang menelepon. Uli berharap ia adalah seseorang yang
sangat ia tunggu membalas chatnya via whatsapp.
Ditatapnya layar
yang tidak begitu lebar bila dibandingkan dengan yang sedang ngetrend di kalangan sekarang. ‘Nomor
asing’ terpampang di sana. Cepat-cepat ia angkat, siapa tahu seseorang yang ia
tunggu itu memakai nomor temannya.
“Yeoboseyo” telefon itu diangkat Uli
dengan usaha keras diriang-riangkan. Kebiasaan Uli saat mengangkat telefon
seseorang itu.
“halo” terdengar
suara, tetapi bukan suara seseorang yang sangat Uli kenal. Suaranya tidak
asing, hanya saja Uli sedikit lupa.
“ya, halo,
siapa?” tanya Uli penasaran. Masih berharap ia salah dengar. Masih berharap itu
suara seseorang yang ia tunggu.
“belum 2 jam
pisah, udah lupa aja suaranya.” Balas suara yang ada di seberang.
“oh, kamu Nae.
Ajaib kamu. Bisa dapet nomerku. Ah pasti dari Remy, ya?” cerocos Uli dengan
usaha masih pura-pura riang.
“kamu pasti
sudah tahu, alumni SMP siapa lagi yang masih nyambung sama kamu selain Remy?
Kamu sembunyi mulu.” Suara Nae halus merasuk telinga Uli, Uli tersenyum secara
tidak sadar.
“Enggak, aku gak
sembunyi kok. Ya emang aku gak tahu aja caranya bagi-bagiin nomerku ke lainnya,
aku gak punya nomer kalian sih.” Jawab Uli membela diri.
“hmmm ngeles aja
kamu, Uli. Iya deh percaya aja deh daripada masalahnya makin panjang.” Sambil
tertawa, Nae memang senang bercanda.
“lho dipanjangin
juga gapapa kok, dilebarin juga boleh. Nanti tinggal dicari luasnya aja.” Uli
mencoba mengimbangi bercandaan Nae.
“udah-udah, ah.
Kamu masih latihan?” timpal Nae dengan pertanyaan,
“iya, masih.
Baru mulai malah. Hehehe.” Jawab Uli seadanya.
“udah jam
sepuluh ini, kok kamu baru mulai latihan? Terus pulangnya jam berapa kalau
sekarang baru mulai?”
“gak tahu, aku
cuma ngikutin aja sih, kan aku cuma anggota.”
“memangnya gak
bisa ditunda besok ya?”
“besok udah
perform, kak. Masa iya sekarang gak latihan? Ini ya dianggap gladi bersih gitu
lah.”
“yaudah,
lanjutin gih latiannya. Nanti kalau udah selesai cepet pulang, ya? Atau mending
numpang nginep di kost temenmu aja.” Nae menasehati.
“iya, aku
latihan dulu ya, ya mungkin nanti aku nginep di kost temen kok.”
“baguslah, kalau
gitu kamu gak bikin aku khawatir. Hahaha.” Nae tertawa terbahak-bahak.
“apa sih, Nae?”
pertanyaan Uli yang sedang malu-malu sangat retoris.
“gak kok,
gapapa. Semangat ya latihannya.”
“iya, aku
semangat kok.”
“Assalamualaikum...”
“Waalaikumsalam...”
seraya telfon terputus bersamaan.
Uli memandangi
jam tangannya, gambar sudut 110 derajat menghadap ke sisi kiri terpampang di
sana. Uli sedang duduk di depan panggung menonton pertunjukan, sepuluh menit
yang lalu, ia di sana, berdandan selayaknya mahasiswa yang mempertanyakan
keadilan pada atasannya yang kemudian dianiaya.
Di sekitar Uli banyak teman-temannya, seperti biasa mereka bercanda,
hanya sesekali mereka memperhatikan panggung. Uli hanya tersenyum kepada
mereka, wajah sedih masih dimilikinya. Uli masih tetap menunggu centang biru
pada chatnya yang tak lekas terwujud.
Layar ponsel Uli
menyala. Tidak bergetar, tidak bersuara, mungkin Uli sengaja untuk mendiamkan,
agar jantungnya tidak melompat ketika suara dari seseorang yang ia tunggu
datang.
‘nomor asing’
terpampang di layar ponselnya. Uli keluar ruangan.
“Yeoboseyo” telefon itu diangkat Uli
dengan usaha keras diriang-riangkan. Kebiasaan Uli saat mengangkat telefon
seseorang itu.
“selamat malam,
Uli.” Suara yang Uli dengar kemarin, datang lagi.
“selamat malam,
Nae.” Balas Uli meski dengan senyuman kecut. Bukan yang ia harapkan tentunya,
“kamu jadi main
teater jam berapa?” tanya Nae. Entah, mungkin sambil tertawa, suaranya
terdengar sangat riang.
“lho, kak. Aku
udah main teater tadi, mungkin lima belas menit yang lalu baru turun.” Jawab
Uli.
“yah, sayang
sekali. Kenapa aku baru kemarin sih ketemu kamu lagi?”
“emangnya kenapa
kak?” tanya Uli polos.
“ya biar bisa
nonton kamu main teaterlah.” Pungkas Nae masih dengan suara sangat riang.
“Uli nanti bakal
main teater lagi kok, tenang aja. Kan Uli artis. Hahahaha.” Uli menjawab dengan
centil, kemudian tertawa tidak terkontrol.
“eh eh, mulai
deh, cewek selalu aja narsis. Ketawamu lho.” Balas Nae juga sambil tertawa.
“hehehe.
Maaf-maaf kak.”
“kamu pulang jam
berapa ini nanti?” tanya Nae mencari bahasan agar telfonnya tidak cepat
berakhir.
“gak tahu,
kayaknya habis nonton temenku main drama langsung pulang kak.”
“kan aku
tanyanya berapa, Uli. Jawabnya harus angka dong....”
“mungkin jam sepuluh”
jawab Uli singkat, dalam hatinya terbesit seorang Nae ternyata cerewet.
“hmmm malem yaa,
pulang sama siapa kamu?”
“sendirian....”
jawaban Uli masih singkat.
“eh, malem-malem
sendirian? Emang rumah Uli di mana?”
“di Pakisaji,
kak. Hehehe. Tau?” jawaban Uli serta pertanyaan yang tidak pernah tertinggal.
“busyeeeeeeeet,
itu jauh Uli. Malem-malem dari sana ke Pakisaji itu jauuuuuuuh.” Teriak Nae
yang sepertinya dipanjang-panjangin.
“emang rumahmu
di mana, Nae?”
“6 kilometer
dari tempatmu berdiri sekarang!”
“kan aku tanya
di mana, kak. Jawabnya harus tempat dong!” pinta Uli membalikkan pernyataan
Nae.
“HAHAHA. Dibalik
omonganku, rek!” Nae tertawa
terbahak-bahak.
“emangnya kamu
aja yang bisa kayak gitu? weeeek”
“nanti pulangnya
ku jemput yuk?”
“jemput gimana
kak? Kan aku bawa motor?”
“ya nanti aku
jemput, bawa motor sendiri-sendiri, aku di belakangmu, bahaya lho malem-malem
motoran sendirian, ke Pakisaji lagi.”
“hehe. Aku juga
gak biasa kak pulang malem. Baru pertama ini ikut acara malem.”
“nah! Makanya kan
mending ku temenin, toh?”
“hmmm iya deh...
emang gak ngrepotin ya kak?” tanya Uli segan.
“ngrepotin apa?
Kan aku yang nawarin, Uli.”
“hehe iya deh.”
“oke. Aku
siap-siap dulu. Jam 10, kan? Tunggu kak Nae di sana. HAHAHA”
“yeeeeee.... apa
sih?” pertanyaan retoris Uli sambil senyum-senyum.
**
“Uli, ku tunggu di gerbang ya.” Bunyi
pesan singkat Nae di layar ponsel Uli.
Uli sudah siap,
malah lebih siap lima menit sebelum pesan singkat Nae masuk ponsel Uli. Uli
menarik gasnya, menuju gerbang.
“lho kok?” Nae mengawali
percakapan dengan ekspresi kaget.
“kok? Kok kenapa
kak?” Uli menimpali sama kagetnya.
“katanya main
teater, kok dandananmu kayak orang main biasa?”
“lah ya masa
dandanan teater kudu dipertahanin sampe di rumah?” jawab Uli bersungut.
“hehehe ya sapa
tau”
“sapa tau sapa
tau. Yuklah jalan!” ajak Uli bersemangat pulang.
“udah makan
kamu, Uli?” pertanyaan Nae yang membuat Uli menoleh kaget.
Uli adalah
perempuan, tetapi ia tidak seperti kebanyakan. Ia sangat mudah membawa
perasaannya saat diberi pertanyaan sederhana seperti itu.
“eh, belum.”
Jawab Uli singkat.
“yaudah makan
dulu ya nanti kalau ada warung buka.” Ajak Nae dengan tersenyum.
Uli hanya
mengangguk dan menarik gasnya kembali, membiarkan Nae berjalan di belakangnya.
Ada yang sedang berkecamuk dalam benak Uli yang membuat ia merasa sangat payah.
Nae menyalip
dari arah kanan, memasang lampu sign ke
arah kiri. Uli mengikuti arah belokan Nae, berhenti di depan warung ayam
goreng.
“dibungkus aja
ya, dimakan di rumah” saran Nae sambil melepas helmnya.
“terserah” Uli
masih terpaku sehingga hanya dapat menjawab singkat.
Nae sedang di
depan kasir, memesan makanan. Uli sengaja tidak ikut, terserah Nae saja mau
apa. Ia sedang melawan segala perasaanya.
“kamu ngantuk,
ya?” suara Nae terdengar tiba-tiba.
“hehe sedikit
sih, capek juga lah.” Jawab Uli seadanya.
“ya sebenernya
tadi berangkatnya sama aku aja, biar bawa satu motor, biar kamu gak tambah
capek nyetir” timpal Nae sambil senyum flirting.
“apaan, sih?”
balas Uli sambil menyenggol Nae dengan sikunya. Ia berusaha tidak tersenyum
meski sebenarnya hatinya tersenyum, sekaligus berbunga.
“NAE!!” teriak
seorang pelayan sambil membawa satu kantong makanan.
“ambil itu,
Uli!” Perintah Nae sambil mengenakan helmnya.
“kok cuma satu?”
tanya Uli sambil berjalan mengikuti Nae dari belakang ke tempat parkir.
“lah mau
berapa?”
“kamu gak
makan?”
“udah tadi
sebelum jemput kamu, makan dulu, hehe”
“hmmmm sok baik
dah, keluar sayap itu di punggungmu” jawab Uli sambil tertawa ringan.
Di parkiran, Nae
mengeluarkan motor Uli, membayar jasa parkirnya, meletakkan motor Uli di depan
pemiliknya.
“Yuk!” ucap Nae
yang tiba-tiba ada di samping Uli.
“Yuk!” balas Uli
sambil menarik gas.
**
Di depan rumah
Uli. Uli membuka pagar rumahnya, memasukkan motornya ke dalam pagar. Kembali ke
luar untuk menemui Nae.
“masuk dulu,
Nae.” Ajak Uli sambil mengisyaratkan badannya menyuruh Nae memasukkan motornya.
“eh ndak usah. Sampai sini aja. Gak baik lho
malem-malem gini anak perempuan ditamui sama anak laki-laki.” Jawab Nae sambil
tersenyum
“iya sih.. ya
sapa tau kamu mau istirahat bentar, dari rumahmu ke sini jauh lho, apalagi
harus mampir ke kampus dulu” hehehe
“alay kamu, Uli.
Deketlah kalau ini, masih dalam kota juga.” Nae menanggapi kealayan Uli sambil
tertawa kecil.
“udah masuk
sana, angin malem gak baik buat wanita cantik.” Perintah Nae kemudian.
“siapa cantik,
Nae?” tanya Uli terbahak-bahak.
“halah malu-malu
dia, coi. Wleeeee. Udah masuk sana.”
“iya, deh.
Makasih ya, Nae.”
“makasih buat
apa? Cuman gitu aja kok.”
“makasih buat
malam ini, kamu hati-hati di jalan ya?”
“Siap bos....
Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Jawab Uli tersenyum sambil menutup pagarnya.
Uli masuk rumah,
lebih tepatnya masuk kamar. Di sanalah Uli, berbaring di ranjang yang luasnya
hanya cukup untuk satu orang, menghadap ke sebuah pigora yang memajang foto
seseorang pria berambut keriting. Uli membuang muka dari pigora itu, lalu
tersenyum. Senyum yang disebabkan bunga dalam hatinya; malam ini Uli bahagia,
meski masih ada penantian yang membebani bahagianya.
Ponsel Uli bergetar
satu kali.
Uli tidak lekas
mengambil, sudah tidak seantusias biasanya.
Ponsel Uli
bergetar dua kali.
Uli malah
berdiri dan pergi ke toilet. Paling juga Nae yang bilang sudah sampai rumah
dengan selamat. Besok pagi juga masih bisa dibalas. Anggap Uli.
Sekembalinya
dari toilet, Uli berbaring kembali. Uli mengamit ponselnya dengan malas. Dibuka
kuncinya, diperiksa notifikasinya, tanpa disadari jantungnya berdegup cepat.
‘Ambo’ nama singkat yang terpampang nyata di sana.
“Halo-Halo J”
Pesan yang
sangat singkat itu membuat Uli beranjak duduk dengan tegak. Uli mengucek
matanya sendiri, mengira ini mimpi. Seseorang yang telah dinanti akhir-akhir
ini muncul juga, orang yang diharapkan akan memberi semangat untuk teater
akhirnya datang juga, meskipun terlambat.
Tanpa berpikir
panjang, Uli langsung membuka pesan itu dan membalas. Persetan dengan anggapan
terlihat sangat menanti pesan tersebut. Segala rindu yang sudah menumpuk,
harganya tidak sebanding dengan anggapan murah seperti itu. Meskipun semua
kerinduan yang dimiliki Uli hanya bisa diisyaratkan lewat kalimat-kalimat
sederhana saja.
Uli tidak
bertanya kemana saja Ambo sampai lupa untuk membaca chatnya. Itu tidak lebih
penting dari segala kepulangan yang Uli rasakan saat berbincang dengan Ambo.
Diceritakanlah segala yang ingin Uli ceritakan pada Ambo hingga tertidur.
**
Mereka sedang
duduk berdua di kursi kayu berhadapan. Di sekitarnya hanya ada pemandangan
hijau sejauh mata memandang. Di sela mereka berdua ada dua gelas cokelat panas,
satu porsi kentang goreng lezat,dan satu porsi ayam goreng yang bentuknya
seperti alat penabuh drum.
Uli menggenggam
cangkir cokelat panasnya untuk mengurangi rasa dingin, ditatapnya minuman itu
lekat-lekat.
“Uli.............”
panggil Nae lembut,
“Ya?” jawab Uli
singkat tanpa memindahkan pandangannya. Entah apa yang membuatnya menjadi malu
seperti ini.
“kok nunduk
terus?” tanya Nae penasaran.
“hehe, gapapa
kok.”
“Uli.............”
“kenapa, Nae?”
potong Uli yang membuat Nae menutup bibirnya tiba-tiba.
“Uli.............”
“Apa, Nae?” Uli
yang merasa risih dipanggil jadi tidak tahan. Ia menegakkan kepalanya sehingga
matanya tepat berhadapan.
“Uli, gimana
kalau aku ada rasa sama kamu?”
Kaget mendengar
kalimat Nae, Uli tertunduk tiba-tiba.
“Rasa apa, Nae?”
tanya Uli terbata dengan wajahnya yang masih menunduk.
“yakin ndak ngerti rasa apa?” tanya Nae sambil
tersenyum.
“mahasiswi
sastra Indonesia segede gaban begini ndak paham rasa apa?” tindas Nae sambil
tertawa terbahak-bahak. Semakin membuat semburat merah di pipi Uli.
“Uli ndak gede,
Nae.” Malu-malu Uli menjawab sambil sedikit sinis.
“hehehe, iya iya
ndak gede kok.” Hibur Nae sambil mengusap-usap punggung tangan wanita di
depannya.
“jadi, gimana
Uli kalau aku ada rasa sama kamu?” lanjut Nae masih dengan posisi tangannya di
atas punggung tangan Uli.
Terdapat jeda
sebentar di antara mereka berdua, kemudian.........
“Uli!” panggil
Nae entah untuk keberapa kalinya dengan nada mengagetkan.
“gimana-gimana,
Nae?” jawab Uli terbata-bata sambil membenarkan posisi duduknya. Genggaman
tangan Nae sengaja tidak dilepas oleh Uli. Entah mengapa ia merasa nyaman
ketika tangan mereka berdua bertemu.
“kamu ndak fokus yaaaaa?” tanya Nae dengan
tatapan menyelidik curiga.
“iya nih,
kayaknya aku butuh ACUA. Hehehe” jawab Uli bercanda.
“Uli, sekali ini
aja, aku pengen kita ngomong serius.” Pinta Nae dengan wajah yang sangat
serius, wajah yang belum pernah Uli lihat semenjak seminggu perkenalannya.
“maaf, Nae.”
Merasa bersalah Uli merespon permintaan Nae dengan menunduk lagi.
“aku tahu kok,
Uli. Mungkin ini terlalu cepat. Kita belum lama mengenal pribadi masing-masing
yang bener-bener pribadi. Tapi ndak
tahu kenapa kok pertama kali lihat kamu menggebu-gebu gini.”
“hm mugkin itu
cuman perasaan sesaat aja, paling juga beberapa minggu lagi balik jadi biasa
Nae.” Jawab Uli dengan memberanikan diri menatap mata Nae sambil tersenyum.
“awalnya ku kira
juga begitu, tapi semakin aku menghindar dari rasa itu, seolah rasa itu muncul
lebih besar dan besar lagi. Dan itu terulang berkali-kali setiap hari.”
“kamu ndak ada siapa-siapa yang kamu pikirin
kan, sekarang?” lanjut Nae tidak memberi kesempatan Uli berbicara.
“kamu mau aku
jawab jujur apa bohong?” Uli kembali berbicara dan memberi tebakan.
“pertanyaan
macam apa itu, Uli?” wajah Nae berubah menjadi lebih serius dari sebelumnya.
“kalau aku harus
jawab jujur, aku harus mulai dengan kata maaf.”
“maaf buat apa?”
“akan ku
jelaskan itu nanti, yang jelas, untuk rasa yang kamu maksudkan tadi aku merasa
simpati. Lebih dari itu, mungkin juga aku merasakan apa yang kamu rasakan. Mustahil
banget kalau ada perempuan ndak ada
rasa setelah diperlakukan seperti apa yang kamu lakukan ke aku. Mustahil
banget, Nae. Apalagi buat perempuan yang udah bertahun-tahun ndak diperlakukan kayak gitu.”
“wait, bertahun-tahun?” Nae mengeluarkan
nada heran
“kamu ndak salah dengar kok, Nae.”
“terus Uli
kenapa kok bisa bertahun-tahun gitu? ndak
ada yang deketin?”
“aku lagi
nungguin orang, Nae.”
“udah mulai tiga
tahun yang lalu, aku jatuh cinta sama orang. Entah aku yang berlebihan atau
bagaimana, yang jelas sejak jatuh cinta dengan orang itu, hatiku gak mau kenal
sama siapa-siapa. Dan bodohnya, saat dia punya pacar, aku masih aja cinta sama
dia. Ndak bisa benci sama sekali.
Hatiku masih nunggu dan nunggu kayak gak pernah bosen.”
“sampe sekarang
dia masih punya pacar?” tanya Nae tanpa ekspresi.
“udah enggak,
dia udah putus semenjak setahun yang lalu.”
“jadi, sampe
sekarang kamu masih nunggu dia? Masih deket sama dia?”
“iya, maafku
tadi untuk ini, aku masih menunggu dia. Gak tahu kenapa hatiku masih percaya kalau
bakalan berakhir indah. Kalau masalah kedeketan, aku gak berani bilang ini
deket apa ndak, dia sering tarik
ulur.” Uli kehabisan kalimat, dia kembali menunduk, tangannya bergerak,
menggenggam tangan Nae lebih erat, airmatanya menetes tidak sengaja.
“Uli, aku boleh
mengartikan genggaman tangan ini sebagai suatu pertanda kalau kamu gak mau
kehilangan aku? Dan airmatamu sebagai pertanda kalau kamu masih mau kekeh menunggu?” pertanyaan Nae membuat
airmata Uli semakin jatuh deras.
Nae tersenyum
sangat tulus, “Uli, aku seneng denger ceritamu, aku seneng denger kalau kamu
juga punya rasa yang sama kayak rasaku. Kalau kamu mau menunggu dia, ya gapapa tunggu aja”
Suara isak
tangis Uli semakin lama semakin terdengar jelas.
“tapi Uli,
sejauh ini aku percaya sama buku yang aku baca, bukunya Gibran, dia bilang di
bukunya itu
“jangan mengira bahwa cinta datang dari persahabatan
yang lama dan rayuan yang tak henti-hentinya. Cinta yang sejati adalah buah
pemahaman rasa spiritual yang jika ia tak bisa tercipta dalam waktu singkat, ia
tidak bisa diciptakan dalam hitungan tahun atau bahkan seabad penuh lamanya.”
“maksudnya,
Nae?” dengan isak Uli mengeluarkan suara yang terdengar tidak jelas, dia
mengusap air matanya.
Genggaman tangan
yang sedari tadi tidak dilepas, akhirnya Nae lepas, ia berdiri, berpindah duduk
dari depan Uli menjadi di samping Uli.
“kamu yang anak
sastra, seharusnya kamu yang lebih paham kata Gibran, dong?”
“maksud kamu,
dia gak bakal datang meskipun aku nunggu lebih lama lagi?” tangis Uli semakin
pecah. Nae tidak tega melihatnya. Tangan kanannya memeluk bahu Uli sehingga
membuat kepala Uli bersandar di bahu kanan Nae. Ada air mata yang semakin deras
tak tertahan, menemukan muara untuk pulang.
“maaf, maaf banget. Malam yang ku kira bakal buat
kamu bahagia malah jadi buat kamu nangis. Aku ndak bisa jawab pertanyaanmu Uli, biar fakta yang menunjukkan
dirinya. Karena segala ucapan lisan tidak akan pernah ada artinya dibanding
dengan kenyataan yang nyata dihadapan. Tunggulah, kalau memang kamu masih punya
banyak tenaga untuk menunggu. Aku ndak
kemana-mana, kalau memang nanti kamu udah tahu jawabannya, kamu masih bisa
hubungi aku, dan aku nunggu itu.” bisik Nae pada Uli sambil mengusap kepalanya.
Kedua tangan Nae
mengangkat kepala Uli. Ditatapnya wajah yang tidak beraturan karena tangis itu
dengan tersenyum lucu. Nae mengusap airmata Uli, mengamitkan tisu di meja untuk
membersihkan ingusnya, “terimakasih sudah mempunyai rasa yang sama kayak
rasaku, itu udah lebih dari cukup. Kamu semangat ya nunggunya, semoga kamu
cepet sadar.” Tangan kanan Nae mengusap kepala Uli, lalu berdiri.
“Nae......”
panggil Uli masih dengan terisak.
“aku pulang
dulu, Uli.”
“Nae......”
panggil Uli untuk kedua kalinya.
Nae menoleh dengan
senyum. Kemudian berbalik lagi meninggalkan Uli.
Uli menatap
lamat-lamat punggung Nae yang semakin lama semakin menghilang. Ia kembali
tertunduk dan menangis.
Di atas sepeda
motor kesayangannya, Nae menuju rumahnya dengan hati yang porak poranda. Dengan
air mata menetes malu-malu, hatinya berkata “seharusnya, kamu sadar, Uli.”
Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar