Mengenai Saya

Foto saya
call me July /.\ Kind Autist. Overordinary girl in this extraordinary world :)

Minggu, 31 Juli 2016

Dalam Sebuah Penantian

“lho, kamu Uli, kan? Mau kondangan bareng anak smp juga?” kata seorang pria di sebelah Uli yang sedang memakirkan motornya.

“eh iya, tadi aku udah janjian sama Remy kak. Bentar, aku inget sih wajahmu wajah-wajah anak smpku, tapi nama kamu siapa? Hehe aku lupa kak.” Tandas Uli sambil nyengir.

“hmmm sok terkenal deh kamu. Sini udah hafal nama, situ sok-sokan lupa namaku. Hmmm.” Gumam pria itu sambil berjalan mendahului Uli.

Uli berlari kecil menuju pria itu, “eh beneran kak. Aku ingatnya kamu dulu anak kelas sebelah kan ya? Temen deketnya Remy?”

“iya....” jawabnya sambil berjalan santai tapi tetap mendahului.

“eh kak, tungguuu..... kenalan lagi deh kak mendingan” kata Uli sambil menyodorkan tangan.

“Uli Ania, anak terkenal se SMP Tujuhbelas Agustus” Uli mengawali perkenalan dengan gaya centil sok asik.

“Aku Nae..” tangannya balik menyalami dan tersenyum.

Uli dan Nae saling senyum dan berjalan beriringan ke tempat yang lebih dekat dengan janur kuning.

“NAE!!!!” teriak pria tinggi dari bawah janur kuning. Uli malah menoleh ke Nae, bukan ke sumber suara.

Nae balik menoleh ke Uli dan bertanya “itu Remy, kakak-kakakanmu waktu smp, kan?”

“hehehe..” Uli tersenyum.

Di sana Remy bersama teman alumni SMP Tujuhbelas Agustus. Nae dan Remy berbincang melepas rindu. Dan Uli, tersenyum kepada semua temannya, meski di dalam senyumnya masih terlukis keresahan yang tidak terperi. Keresahan yang tidak dapat ditebak menggunakan jari.

“kondangan mulu ya kita, kapan kita dikondangin?” Remy memulai pembicaraan setelah mendapat tempat duduk. Sikunya memaksa menyenggol Nae.

syarat e nikah niku mung kale” jawab Nae ke Remy dengan wajah serius.

“Apa aja emang?” Uli menyela percakapan mereka.

KALE SINTEN?” Jawab Nae sambil berteriak dan disambut tawa terbahak-bahak semua teman.

Uli hanya mampu tersenyum. Ia mungkin lupa caranya tertawa. Tersenyum menurutnya sudah bahagia di level paling tinggi untuk saat seperti ini.

Di tangan kanan Uli menggenggam besi kesayangannya, dikunci, dibuka kembali, pencet whatsapp, liat tulisan ‘Last Seen Today 19:51’ dan saat itu memang pukul 19:51, tapi pesan kepada seseorangnya masih centang dua, belum centang biru. Dilakukannya terus menerus, lima menit sekali. Kecewa setiap lima menit sekali terlihat di raut mukanya.

Sampai ada seorang berbaju beskap menghampiri, menyilakan untuk mengambil makanan di area prasmanan.

“Yuk, dek.” Ajak Remy kepada Uli yang memang sudah dianggap seperti adik kandungnya sendiri.

“hehe. Iya. Yuk!” balas Uli dengan tersenyum terpaksa.

Sekembalinya mereka dari mengambil makanan, Uli masih tetap sibuk dengan besi elektroniknya, Uli masih sibuk menunggu whatsapp yang terabaikan dan tak terbalas, meski kadang sesekali memakan makanannya sesendok demi sesendok.

“makan lauk hape, mbak?” celetuk Nae bercanda.

“hehe, enggak kok. Nunggu kabar temen karena mau latihan.” Jawab Uli berbohong.

“eh, eh, emang mau latihan apa?” Nae bicara dengan mulut penuh dengan nasi.

“mending kamu telen dulu, Nae. Tersedak ntar ndak lucu, lho” tindas Remy di sebelah Nae.

“Remy gak peka. Nae pengen jadi adik iparmu kayaknya.” Qahsi yang daritadi hanya tertawa akhirnya mengeluarkan suara.

he gak he, ya kan temen lama jarang ketemu jadi udah gak tahu kesibukannya apa.” Nae membela diri.

“halah, Nae. Daritadi tiap ngomong sama kita dan ngomong sama Uli ekspresimu beda tau!” Zul berpendapat setelah main mata dengan Qahsi dan Remy.

“ya sudah. Habis aku, habis kak. Ampun. Diam aja lah kalau gitu.” Nae pasrah dengan senyum jengkel.

Zul mengajak teman-temannya pamit ke pengantin setelah dirasa amunisi dalam perut terpenuhi. 

Saling bersalaman dengan pengantin dengan memberi ucapan selamat, selamat telah lolos dari 
ketakutan menjadi parasit lajang.

“Foto dulu yuk, biar nanti bisa dipost di IG.” Ajak Qahsi kepada semua temannya. Qahsi memang mempunyai keinginan eksis yang sangat tinggi.

“Iya, foto dulu. Biar koleksi fotoku nanti lengkap.” Timpal Maria, pengantin wanita yang memang alumni SMP Tujuhbelas Agustus juga.

Selain Uli, Remy, Nae, Qahsi, dan Zul, masih ada teman-teman alumni lain seperti Uni—bukan kembaran Uli--, Lin, dan masih banyak lagi yang ingin foto di pelaminan.

“dijadiin 2 kloter saja mbak-mbak mas-mas.” Ucap seorang pramufoto yang risih melihat pelaminan menjadi penuh.

“yaudah deh, aku gak ikut aja.” Uli turun dari pelaminan.

“nanti sama aku aja ya, Uli.” Nae tiba-tiba mengikuti langkah Uli dari belakang. Menjajari Uli yang sedang berdiri di sebelah pramufoto. Melihati teman-temannya yang sedang berpose.

“Modus! Modus!” teriak teman-temannya membuat rusuh.

Di parkiran, Nae mengeluarkan motor Uli, membayar jasa parkirnya, meletakkan motor Uli di depan pemiliknya.

“ini motormu. Hati-hati ya pulangnya. Kalau mau latihan, yang semangat latihannya.” Nae tersenyum simpul sambil memandangi wajah Uli.

“terimakasih, Nae. Kamu juga hati-hati pulangnya.” Balas Uli seraya menarik gas motornya. Meninggalkan Nae dan teman lainnya di belakang dengan hati yang berkecamuk tajam.

Uli memang benar-benar akan latihan. Latihan teater yang sangat ia minati. Latihan teater yang sangat ia nikmati.

Telinga-telinga disumbat harta dan martabat. Mulut-mulut dibungkam iming-iming dan ancaman. Orang-orang penting yang berpesta setiap hari. Membiarkan leher mereka dijerat dasi. Agar hanya bisa mengangguk dengan tegas, berpose dengan gagah di depan kamera otomatis yang gagu” bait puisi karya Gus Mus yang memang akan diteatrikalisasi oleh Uli baru saja dibaca olehnnya.

“Tante Uli, ada telfon.” Teriak salah satu teman teaternya yang memegang handphone Uli. Uli berlari menghampirinya, menghabiskan rasa ingin tahunya tentang seorang yang menelepon. Uli berharap ia adalah seseorang yang sangat ia tunggu membalas chatnya via whatsapp.

Ditatapnya layar yang tidak begitu lebar bila dibandingkan dengan yang sedang ngetrend di kalangan sekarang. ‘Nomor asing’ terpampang di sana. Cepat-cepat ia angkat, siapa tahu seseorang yang ia tunggu itu memakai nomor temannya.

Yeoboseyo” telefon itu diangkat Uli dengan usaha keras diriang-riangkan. Kebiasaan Uli saat mengangkat telefon seseorang itu.

“halo” terdengar suara, tetapi bukan suara seseorang yang sangat Uli kenal. Suaranya tidak asing, hanya saja Uli sedikit lupa.

“ya, halo, siapa?” tanya Uli penasaran. Masih berharap ia salah dengar. Masih berharap itu suara seseorang yang ia tunggu.

“belum 2 jam pisah, udah lupa aja suaranya.” Balas suara yang ada di seberang.

“oh, kamu Nae. Ajaib kamu. Bisa dapet nomerku. Ah pasti dari Remy, ya?” cerocos Uli dengan usaha masih pura-pura riang.

“kamu pasti sudah tahu, alumni SMP siapa lagi yang masih nyambung sama kamu selain Remy? Kamu sembunyi mulu.” Suara Nae halus merasuk telinga Uli, Uli tersenyum secara tidak sadar.

“Enggak, aku gak sembunyi kok. Ya emang aku gak tahu aja caranya bagi-bagiin nomerku ke lainnya, aku gak punya nomer kalian sih.” Jawab Uli membela diri.

“hmmm ngeles aja kamu, Uli. Iya deh percaya aja deh daripada masalahnya makin panjang.” Sambil tertawa, Nae memang senang bercanda.

“lho dipanjangin juga gapapa kok, dilebarin juga boleh. Nanti tinggal dicari luasnya aja.” Uli mencoba mengimbangi bercandaan Nae.

“udah-udah, ah. Kamu masih latihan?” timpal Nae dengan pertanyaan,

“iya, masih. Baru mulai malah. Hehehe.” Jawab Uli seadanya.

“udah jam sepuluh ini, kok kamu baru mulai latihan? Terus pulangnya jam berapa kalau sekarang baru mulai?”

“gak tahu, aku cuma ngikutin aja sih, kan aku cuma anggota.”

“memangnya gak bisa ditunda besok ya?”

“besok udah perform, kak. Masa iya sekarang gak latihan? Ini ya dianggap gladi bersih gitu lah.”

“yaudah, lanjutin gih latiannya. Nanti kalau udah selesai cepet pulang, ya? Atau mending numpang nginep di kost temenmu aja.” Nae menasehati.

“iya, aku latihan dulu ya, ya mungkin nanti aku nginep di kost temen kok.”

“baguslah, kalau gitu kamu gak bikin aku khawatir. Hahaha.” Nae tertawa terbahak-bahak.

“apa sih, Nae?” pertanyaan Uli yang sedang malu-malu sangat retoris.

“gak kok, gapapa. Semangat ya latihannya.”

“iya, aku semangat kok.”

“Assalamualaikum...”

“Waalaikumsalam...” seraya telfon terputus bersamaan.



Uli memandangi jam tangannya, gambar sudut 110 derajat menghadap ke sisi kiri terpampang di sana. Uli sedang duduk di depan panggung menonton pertunjukan, sepuluh menit yang lalu, ia di sana, berdandan selayaknya mahasiswa yang mempertanyakan keadilan pada atasannya yang kemudian dianiaya.  Di sekitar Uli banyak teman-temannya, seperti biasa mereka bercanda, hanya sesekali mereka memperhatikan panggung. Uli hanya tersenyum kepada mereka, wajah sedih masih dimilikinya. Uli masih tetap menunggu centang biru pada chatnya yang tak lekas terwujud.

Layar ponsel Uli menyala. Tidak bergetar, tidak bersuara, mungkin Uli sengaja untuk mendiamkan, agar jantungnya tidak melompat ketika suara dari seseorang yang ia tunggu datang.

‘nomor asing’ terpampang di layar ponselnya. Uli keluar ruangan.

Yeoboseyo” telefon itu diangkat Uli dengan usaha keras diriang-riangkan. Kebiasaan Uli saat mengangkat telefon seseorang itu.

“selamat malam, Uli.” Suara yang Uli dengar kemarin, datang lagi.

“selamat malam, Nae.” Balas Uli meski dengan senyuman kecut. Bukan yang ia harapkan tentunya,

“kamu jadi main teater jam berapa?” tanya Nae. Entah, mungkin sambil tertawa, suaranya terdengar sangat riang.

“lho, kak. Aku udah main teater tadi, mungkin lima belas menit yang lalu baru turun.” Jawab Uli.

“yah, sayang sekali. Kenapa aku baru kemarin sih ketemu kamu lagi?”

“emangnya kenapa kak?” tanya Uli polos.

“ya biar bisa nonton kamu main teaterlah.” Pungkas Nae masih dengan suara sangat riang.

“Uli nanti bakal main teater lagi kok, tenang aja. Kan Uli artis. Hahahaha.” Uli menjawab dengan centil, kemudian tertawa tidak terkontrol.

“eh eh, mulai deh, cewek selalu aja narsis. Ketawamu lho.” Balas Nae juga sambil tertawa.

“hehehe. Maaf-maaf kak.”

“kamu pulang jam berapa ini nanti?” tanya Nae mencari bahasan agar telfonnya tidak cepat berakhir.

“gak tahu, kayaknya habis nonton temenku main drama langsung pulang kak.”

“kan aku tanyanya berapa, Uli. Jawabnya harus angka dong....”

“mungkin jam sepuluh” jawab Uli singkat, dalam hatinya terbesit seorang Nae ternyata cerewet.

“hmmm malem yaa, pulang sama siapa kamu?”

“sendirian....” jawaban Uli masih singkat.

“eh, malem-malem sendirian? Emang rumah Uli di mana?”

“di Pakisaji, kak. Hehehe. Tau?” jawaban Uli serta pertanyaan yang tidak pernah tertinggal.

“busyeeeeeeeet, itu jauh Uli. Malem-malem dari sana ke Pakisaji itu jauuuuuuuh.” Teriak Nae yang sepertinya dipanjang-panjangin.

“emang rumahmu di mana, Nae?”

“6 kilometer dari tempatmu berdiri sekarang!”

“kan aku tanya di mana, kak. Jawabnya harus tempat dong!” pinta Uli membalikkan pernyataan Nae.

“HAHAHA. Dibalik omonganku, rek!” Nae tertawa terbahak-bahak.

“emangnya kamu aja yang bisa kayak gitu? weeeek”

“nanti pulangnya ku jemput yuk?”

“jemput gimana kak? Kan aku bawa motor?”

“ya nanti aku jemput, bawa motor sendiri-sendiri, aku di belakangmu, bahaya lho malem-malem motoran sendirian, ke Pakisaji lagi.”

“hehe. Aku juga gak biasa kak pulang malem. Baru pertama ini ikut acara malem.”

“nah! Makanya kan mending ku temenin, toh?”

“hmmm iya deh... emang gak ngrepotin ya kak?” tanya Uli segan.

“ngrepotin apa? Kan aku yang nawarin, Uli.”

“hehe iya deh.”

“oke. Aku siap-siap dulu. Jam 10, kan? Tunggu kak Nae di sana. HAHAHA”

“yeeeeee.... apa sih?” pertanyaan retoris Uli sambil senyum-senyum.
**
Uli, ku tunggu di gerbang ya.” Bunyi pesan singkat Nae di layar ponsel Uli.
Uli sudah siap, malah lebih siap lima menit sebelum pesan singkat Nae masuk ponsel Uli. Uli menarik gasnya, menuju gerbang.

“lho kok?” Nae mengawali percakapan dengan ekspresi kaget.

“kok? Kok kenapa kak?” Uli menimpali sama kagetnya.

“katanya main teater, kok dandananmu kayak orang main biasa?”

“lah ya masa dandanan teater kudu dipertahanin sampe di rumah?” jawab Uli bersungut.

“hehehe ya sapa tau”

“sapa tau sapa tau. Yuklah jalan!” ajak Uli bersemangat pulang.

“udah makan kamu, Uli?” pertanyaan Nae yang membuat Uli menoleh kaget.

Uli adalah perempuan, tetapi ia tidak seperti kebanyakan. Ia sangat mudah membawa perasaannya saat diberi pertanyaan sederhana seperti itu.

“eh, belum.” Jawab Uli singkat.

“yaudah makan dulu ya nanti kalau ada warung buka.” Ajak Nae dengan tersenyum.
Uli hanya mengangguk dan menarik gasnya kembali, membiarkan Nae berjalan di belakangnya. Ada yang sedang berkecamuk dalam benak Uli yang membuat ia merasa sangat payah.
Nae menyalip dari arah kanan, memasang lampu sign ke arah kiri. Uli mengikuti arah belokan Nae, berhenti di depan warung ayam goreng.

“dibungkus aja ya, dimakan di rumah” saran Nae sambil melepas helmnya.

“terserah” Uli masih terpaku sehingga hanya dapat menjawab singkat.
Nae sedang di depan kasir, memesan makanan. Uli sengaja tidak ikut, terserah Nae saja mau apa. Ia sedang melawan segala perasaanya.

“kamu ngantuk, ya?” suara Nae terdengar tiba-tiba.

“hehe sedikit sih, capek juga lah.” Jawab Uli seadanya.

“ya sebenernya tadi berangkatnya sama aku aja, biar bawa satu motor, biar kamu gak tambah capek nyetir” timpal Nae sambil senyum flirting.

“apaan, sih?” balas Uli sambil menyenggol Nae dengan sikunya. Ia berusaha tidak tersenyum meski sebenarnya hatinya tersenyum, sekaligus berbunga.

“NAE!!” teriak seorang pelayan sambil membawa satu kantong makanan.

“ambil itu, Uli!” Perintah Nae sambil mengenakan helmnya.

“kok cuma satu?” tanya Uli sambil berjalan mengikuti Nae dari belakang ke tempat parkir.

“lah mau berapa?”

“kamu gak makan?”

“udah tadi sebelum jemput kamu, makan dulu, hehe”

“hmmmm sok baik dah, keluar sayap itu di punggungmu” jawab Uli sambil tertawa ringan.
Di parkiran, Nae mengeluarkan motor Uli, membayar jasa parkirnya, meletakkan motor Uli di depan pemiliknya.

“Yuk!” ucap Nae yang tiba-tiba ada di samping Uli.

“Yuk!” balas Uli sambil menarik gas.
**
Di depan rumah Uli. Uli membuka pagar rumahnya, memasukkan motornya ke dalam pagar. Kembali ke luar untuk menemui Nae.

“masuk dulu, Nae.” Ajak Uli sambil mengisyaratkan badannya menyuruh Nae memasukkan motornya.

“eh ndak usah. Sampai sini aja. Gak baik lho malem-malem gini anak perempuan ditamui sama anak laki-laki.” Jawab Nae sambil tersenyum

“iya sih.. ya sapa tau kamu mau istirahat bentar, dari rumahmu ke sini jauh lho, apalagi harus mampir ke kampus dulu” hehehe

“alay kamu, Uli. Deketlah kalau ini, masih dalam kota juga.” Nae menanggapi kealayan Uli sambil tertawa kecil.

“udah masuk sana, angin malem gak baik buat wanita cantik.” Perintah Nae kemudian.

“siapa cantik, Nae?” tanya Uli terbahak-bahak.

“halah malu-malu dia, coi. Wleeeee. Udah masuk sana.”

“iya, deh. Makasih ya, Nae.”

“makasih buat apa? Cuman gitu aja kok.”

“makasih buat malam ini, kamu hati-hati di jalan ya?”

“Siap bos.... Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Jawab Uli tersenyum sambil menutup pagarnya.

Uli masuk rumah, lebih tepatnya masuk kamar. Di sanalah Uli, berbaring di ranjang yang luasnya hanya cukup untuk satu orang, menghadap ke sebuah pigora yang memajang foto seseorang pria berambut keriting. Uli membuang muka dari pigora itu, lalu tersenyum. Senyum yang disebabkan bunga dalam hatinya; malam ini Uli bahagia, meski masih ada penantian yang membebani bahagianya.

Ponsel Uli bergetar satu kali.

Uli tidak lekas mengambil, sudah tidak seantusias biasanya.

Ponsel Uli bergetar dua kali.

Uli malah berdiri dan pergi ke toilet. Paling juga Nae yang bilang sudah sampai rumah dengan selamat. Besok pagi juga masih bisa dibalas. Anggap Uli.

Sekembalinya dari toilet, Uli berbaring kembali. Uli mengamit ponselnya dengan malas. Dibuka kuncinya, diperiksa notifikasinya, tanpa disadari jantungnya berdegup cepat. ‘Ambo’ nama singkat yang terpampang nyata di sana.

Halo-Halo J

Pesan yang sangat singkat itu membuat Uli beranjak duduk dengan tegak. Uli mengucek matanya sendiri, mengira ini mimpi. Seseorang yang telah dinanti akhir-akhir ini muncul juga, orang yang diharapkan akan memberi semangat untuk teater akhirnya datang juga, meskipun terlambat.

Tanpa berpikir panjang, Uli langsung membuka pesan itu dan membalas. Persetan dengan anggapan terlihat sangat menanti pesan tersebut. Segala rindu yang sudah menumpuk, harganya tidak sebanding dengan anggapan murah seperti itu. Meskipun semua kerinduan yang dimiliki Uli hanya bisa diisyaratkan lewat kalimat-kalimat sederhana saja.

Uli tidak bertanya kemana saja Ambo sampai lupa untuk membaca chatnya. Itu tidak lebih penting dari segala kepulangan yang Uli rasakan saat berbincang dengan Ambo. Diceritakanlah segala yang ingin Uli ceritakan pada Ambo hingga tertidur.
**
Mereka sedang duduk berdua di kursi kayu berhadapan. Di sekitarnya hanya ada pemandangan hijau sejauh mata memandang. Di sela mereka berdua ada dua gelas cokelat panas, satu porsi kentang goreng lezat,dan satu porsi ayam goreng yang bentuknya seperti alat penabuh drum.
Uli menggenggam cangkir cokelat panasnya untuk mengurangi rasa dingin, ditatapnya minuman itu lekat-lekat.

“Uli.............” panggil Nae lembut,

“Ya?” jawab Uli singkat tanpa memindahkan pandangannya. Entah apa yang membuatnya menjadi  malu seperti ini.

“kok nunduk terus?” tanya Nae penasaran.

“hehe, gapapa kok.”

“Uli.............”

“kenapa, Nae?” potong Uli yang membuat Nae menutup bibirnya tiba-tiba.

“Uli.............”

“Apa, Nae?” Uli yang merasa risih dipanggil jadi tidak tahan. Ia menegakkan kepalanya sehingga matanya tepat berhadapan.

“Uli, gimana kalau aku ada rasa sama kamu?”
Kaget mendengar kalimat Nae, Uli tertunduk tiba-tiba.

“Rasa apa, Nae?” tanya Uli terbata dengan wajahnya yang masih menunduk.

“yakin ndak ngerti rasa apa?” tanya Nae sambil tersenyum.

“mahasiswi sastra Indonesia segede gaban begini ndak paham rasa apa?” tindas Nae sambil tertawa terbahak-bahak. Semakin membuat semburat merah di pipi Uli.

“Uli ndak gede, Nae.” Malu-malu Uli menjawab sambil sedikit sinis.

“hehehe, iya iya ndak gede kok.” Hibur Nae sambil mengusap-usap punggung tangan wanita di depannya.

“jadi, gimana Uli kalau aku ada rasa sama kamu?” lanjut Nae masih dengan posisi tangannya di atas punggung tangan Uli.

Terdapat jeda sebentar di antara mereka berdua, kemudian.........

“Uli!” panggil Nae entah untuk keberapa kalinya dengan nada mengagetkan.

“gimana-gimana, Nae?” jawab Uli terbata-bata sambil membenarkan posisi duduknya. Genggaman tangan Nae sengaja tidak dilepas oleh Uli. Entah mengapa ia merasa nyaman ketika tangan mereka berdua bertemu.

“kamu ndak fokus yaaaaa?” tanya Nae dengan tatapan menyelidik curiga.

“iya nih, kayaknya aku butuh ACUA. Hehehe” jawab Uli bercanda.

“Uli, sekali ini aja, aku pengen kita ngomong serius.” Pinta Nae dengan wajah yang sangat serius, wajah yang belum pernah Uli lihat semenjak seminggu perkenalannya.

“maaf, Nae.” Merasa bersalah Uli merespon permintaan Nae dengan menunduk lagi.

“aku tahu kok, Uli. Mungkin ini terlalu cepat. Kita belum lama mengenal pribadi masing-masing yang bener-bener pribadi. Tapi ndak tahu kenapa kok pertama kali lihat kamu menggebu-gebu gini.”

“hm mugkin itu cuman perasaan sesaat aja, paling juga beberapa minggu lagi balik jadi biasa Nae.” Jawab Uli dengan memberanikan diri menatap mata Nae sambil tersenyum.

“awalnya ku kira juga begitu, tapi semakin aku menghindar dari rasa itu, seolah rasa itu muncul lebih besar dan besar lagi. Dan itu terulang berkali-kali setiap hari.”

“kamu ndak ada siapa-siapa yang kamu pikirin kan, sekarang?” lanjut Nae tidak memberi kesempatan Uli berbicara.

“kamu mau aku jawab jujur apa bohong?” Uli kembali berbicara dan memberi tebakan.

“pertanyaan macam apa itu, Uli?” wajah Nae berubah menjadi lebih serius dari sebelumnya.

“kalau aku harus jawab jujur, aku harus mulai dengan kata maaf.”

“maaf buat apa?”

“akan ku jelaskan itu nanti, yang jelas, untuk rasa yang kamu maksudkan tadi aku merasa simpati. Lebih dari itu, mungkin juga aku merasakan apa yang kamu rasakan. Mustahil banget kalau ada perempuan ndak ada rasa setelah diperlakukan seperti apa yang kamu lakukan ke aku. Mustahil banget, Nae. Apalagi buat perempuan yang udah bertahun-tahun ndak diperlakukan kayak gitu.”

wait, bertahun-tahun?” Nae mengeluarkan nada heran

“kamu ndak salah dengar kok, Nae.”

“terus Uli kenapa kok bisa bertahun-tahun gitu? ndak ada yang deketin?”

“aku lagi nungguin orang, Nae.”

“udah mulai tiga tahun yang lalu, aku jatuh cinta sama orang. Entah aku yang berlebihan atau bagaimana, yang jelas sejak jatuh cinta dengan orang itu, hatiku gak mau kenal sama siapa-siapa. Dan bodohnya, saat dia punya pacar, aku masih aja cinta sama dia. Ndak bisa benci sama sekali. Hatiku masih nunggu dan nunggu kayak gak pernah bosen.”

“sampe sekarang dia masih punya pacar?” tanya Nae tanpa ekspresi.

“udah enggak, dia udah putus semenjak setahun yang lalu.”

“jadi, sampe sekarang kamu masih nunggu dia? Masih deket sama dia?”

“iya, maafku tadi untuk ini, aku masih menunggu dia. Gak tahu kenapa hatiku masih percaya kalau bakalan berakhir indah. Kalau masalah kedeketan, aku gak berani bilang ini deket apa ndak, dia sering tarik ulur.” Uli kehabisan kalimat, dia kembali menunduk, tangannya bergerak, menggenggam tangan Nae lebih erat, airmatanya menetes tidak sengaja.

“Uli, aku boleh mengartikan genggaman tangan ini sebagai suatu pertanda kalau kamu gak mau kehilangan aku? Dan airmatamu sebagai pertanda kalau kamu masih mau kekeh menunggu?” pertanyaan Nae membuat airmata Uli semakin jatuh deras.

Nae tersenyum sangat tulus, “Uli, aku seneng denger ceritamu, aku seneng denger kalau kamu juga punya rasa yang sama kayak rasaku. Kalau kamu mau menunggu dia, ya gapapa tunggu aja”
Suara isak tangis Uli semakin lama semakin terdengar jelas.

“tapi Uli, sejauh ini aku percaya sama buku yang aku baca, bukunya Gibran, dia bilang di bukunya itu

“jangan mengira bahwa cinta datang dari persahabatan yang lama dan rayuan yang tak henti-hentinya. Cinta yang sejati adalah buah pemahaman rasa spiritual yang jika ia tak bisa tercipta dalam waktu singkat, ia tidak bisa diciptakan dalam hitungan tahun atau bahkan seabad penuh lamanya.”

“maksudnya, Nae?” dengan isak Uli mengeluarkan suara yang terdengar tidak jelas, dia mengusap air matanya.

Genggaman tangan yang sedari tadi tidak dilepas, akhirnya Nae lepas, ia berdiri, berpindah duduk dari depan Uli menjadi di samping Uli.

“kamu yang anak sastra, seharusnya kamu yang lebih paham kata Gibran, dong?”

“maksud kamu, dia gak bakal datang meskipun aku nunggu lebih lama lagi?” tangis Uli semakin pecah. Nae tidak tega melihatnya. Tangan kanannya memeluk bahu Uli sehingga membuat kepala Uli bersandar di bahu kanan Nae. Ada air mata yang semakin deras tak tertahan, menemukan muara untuk pulang.

“maaf, maaf banget. Malam yang ku kira bakal buat kamu bahagia malah jadi buat kamu nangis. Aku ndak bisa jawab pertanyaanmu Uli, biar fakta yang menunjukkan dirinya. Karena segala ucapan lisan tidak akan pernah ada artinya dibanding dengan kenyataan yang nyata dihadapan. Tunggulah, kalau memang kamu masih punya banyak tenaga untuk menunggu. Aku ndak kemana-mana, kalau memang nanti kamu udah tahu jawabannya, kamu masih bisa hubungi aku, dan aku nunggu itu.” bisik Nae pada Uli sambil mengusap kepalanya.

Kedua tangan Nae mengangkat kepala Uli. Ditatapnya wajah yang tidak beraturan karena tangis itu dengan tersenyum lucu. Nae mengusap airmata Uli, mengamitkan tisu di meja untuk membersihkan ingusnya, “terimakasih sudah mempunyai rasa yang sama kayak rasaku, itu udah lebih dari cukup. Kamu semangat ya nunggunya, semoga kamu cepet sadar.” Tangan kanan Nae mengusap kepala Uli, lalu berdiri.

“Nae......” panggil Uli masih dengan terisak.

“aku pulang dulu, Uli.”

“Nae......” panggil Uli untuk kedua kalinya.

Nae menoleh dengan senyum. Kemudian berbalik lagi meninggalkan Uli.

Uli menatap lamat-lamat punggung Nae yang semakin lama semakin menghilang. Ia kembali tertunduk dan menangis.

Di atas sepeda motor kesayangannya, Nae menuju rumahnya dengan hati yang porak poranda. Dengan air mata menetes malu-malu, hatinya berkata “seharusnya, kamu sadar, Uli.”


Selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar